Airmata jerapah? Rasanya kita di Indonesia tak pernah mendengar istilah itu. Ada juga airmata buaya, yaitu istilah untuk menyatakan kepura-puraan seseorang menangisi kesedihan atau kemalangan orang lain. Karena pura-pura sedih - sebab sebenarnya ia justru bahagia atas kemalangan tersebut - maka airmata yang diteteskannya itu disebut airmata buaya. Tentang airmata jerapah, ternyata itu ada ceritanya sendiri di benua Afrika sana, tepatnya di Botswana. Para wanita di sana percaya, bahwa jerapah telah memberikan airmatanya untuk mereka anyam menjadi hiasan pada keranjang-keranjang bikinan mereka. "Jerapah memberikan airmatanya pada para wanita dan mereka menganyamnya dalam keranjang. Ini berarti, kata Mma Ramostwe, bahwa kita semua bisa memberikan sesuatu. Seekor jerapah tak memiliki apa-apa untuk diberikan - hanya airmata" (hlm 368).Bagi pembaca yang telah pernah mengikuti serial pertama novel detektif ini - Kantor Detektif Wanita No.1 - nama Mma Ramotswe tentu tak asing lagi. Dialah si wanita detektif bertubuh gemuk; wanita detektif pertama di Botswana. Bermodalkan uang warisan mendiang ayahnya, Mma Ramotswe mendirikan kantor detektif swasta di Gaborone. Profesi yang sangat tidak lazim bagi seorang perempuan di sebuah negeri dengan budaya patriarki yang kental.Setelah sukses menyelesaikan kasus-kasus ringan dan berat pada buku pertama, kali ini Mma Ramotswe hanya menangani dua kasus saja, yaitu : kasus Ny.Curtin yang mencari tahu keberadaan putranya yang hilang sepuluh tahun lalu serta kasus perselingkuhan istri Mr.Badule. Kasus Ny. Curtin merupakan kasus terberat, sebab peristiwanya terjadi sepuluh tahun yang lalu. Putra tercintanya, Michael, tiba-tiba lenyap begitu saja di Molepolole, sebuah desa pertanian yang menjadi proyek percobaan dengan dana bantuan dari Ford Foundation. Proyek pertanian skala kecil ini melibatkan banyak orang, termasuk Oswald Ranta, ahli ekonomi dari sebuah universitas di Botswana dan Michael Curtin, seorang pemuda Amerika yang tertarik budaya Afrika sehingga memutuskan untuk tinggal lebih lama lagi di desa tersebut walaupun orang tuanya memintanya pulang. Sebenarnya bukan hanya Afrika yang telah membuat Michael jatuh hati, tetapi cintanya pun telah tertambat pada Carla Smit, gadis Afrika Selatan yang juga terlibat dalam proyek idealis tersebut. Terjalinlah roman cinta di antara mereka meskipun Carla Smit seorang perempuan yang usianya jauh lebih tua dari Michael. Namun, diam-diam Carla Smit berselingkuh, membina hubungan cinta lain dengan Oswald Ranta, lelaki hidung belang yang sering merayu dan melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya. Mma Ramotswe mencium adanya keterkaitan antara kisah cinta segitiga itu dengan raibnya Michael. Ia pun lalu memusatkan penyelidikannya pada si lelaki perayu, Oswald Ranta, dan menyusuri kembali jejak-jejak peristiwa sepuluh tahun silam di desa yang berbatasan dengan Gurun Kalahari itu.Sebagaimana halnya pada buku pertama, sisi paling menarik dari novel detektif ini justru bukan kisah detektifnya, melainkan kisah kehidupan Mma Ramotswe, sang tokoh utama. Pada buku kedua ini, hubungan cinta Mma Ramotswe dan Mr.J.L.B Matekoni, sang mekanik yang baik hati itu, semakin hangat. Pertunangan mereka "diresmikan" dengan pemberian sebentuk cincin berlian untuk Mma Ramotswe. Mereka juga mengadopsi sepasang anak yatim piatu dari panti asuhan dan merencanakan pernikahan sesegera mungkin.Tunangan Mma Ramotswe ini di buku kedua mendapat porsi lumayan besar. Ia bujangan lugu, jujur, dan sangat bangga pada profesinya sebagai mekanik. Menurutnya, menjadi mekanik adalah suatu seni yang, idealnya, dipelajari seseorang dari ayahnya. Seperti Yesus yang belajar jadi tukang kayu. Pikirnya, jika saja Yesus datang hari ini, Dia mungkin akan menjadi seorang mekanik. Dan tak diragukan lagi, Ia akan memilih Afrika, mungkin Botswana, sebab Israel sangat berbahaya belakangan ini (hlm.248)Begitulah, masih tetap mengandalkan selera humornya yang cerdas, Alexander McCall Smith menjadikan novel ini sebuah kisah detektif yang segar dengan perspektif berbeda dibanding novel-novel detektif (klasik) yang telah ada lebih dulu (misalnya, karya Agatha Christie atau serial Sherlock Holmes). McCall Smith, selain menyuguhkan kisah misteri, juga mengangkat persoalan jender dan isu feminisme berlatar budaya Afrika, khususnya Botswana, negeri tempat ia bertemu wanita yang kini menjadi istrinya. Setting Botswana dengan segala keunikannya menjadi daya pikat tersendiri dan lebih memperkaya novel ini. Budaya, tradisi, pesona flora dan fauna serta perilaku masyarakatnya merupakan sebuah tamasya bacaan yang sungguh eksotis. Rasanya masih sedikit sekali novel (fiksi) - baik karya asli ataupun terjemahan - berlatarbelakang Afrika yang beredar di Indonesia, oleh karenanya Misteri Airmata Sang Jerapah bisa melengkapi yang sedikit itu, membuka cakrawala dan menambah wawasan pembaca tentang Afrika.Lewat penggalan-penggalan ajaran moralitas kuno Botswana, McCall Smith memberi wejangan moral kepada para pembacanya tanpa menggurui. Botswana dan Afrika umumnya yang sering dipandang sebagai sebuah dunia "tak beradab", ternyata menyimpan kearifan-kearifan lokal tersembunyi, cantik bagaikan berlian. McCall Smith juga, secara bergurau, kerap menyindir bangsa Barat yang selalu merasa paling tahu, bahkan untuk persoalan-persoalan orang Botswana. Contohnya, proyek pertanian Ford Foundation yang gagal itu. Orang-orang Amerika dan Jerman itu yakin betul bahwa mereka bisa menanami Gurun Kalahari yang gersang itu dengan tanaman sejenis tomat dan sayur-sayuran. Caranya adalah dengan menanam tanaman tersebut di bawah jaring peneduh dan mengairinya dengan tetesan air melalui serat-serat benang. Benang-benag itu dipasang pada sebuah pipa kecil dan tetesan air mengalir melalui benang itu, meresap ke dalam tanah sampai ke akar tanaman (hlm.51)Mulanya cara tersebut benar-benar berhasil. Namun, selanjutnya gagal total. Sayur-sayuran tak mungkin bisa ditanam di Kalahari. Hanya tanaman-tanaman tertentu saja yang dapat tumbuh di sana, tanaman khas daerah gurun tentu. Bukan semacam tomat dan selada.McCall Smith sendiri adalah pria Skotlandia kelahiran Zimbabwe dan seorang profesor bidang hukum di Universitas Edinburgh. Dia pernah tinggal dalam waktu yang cukup lama di Botswana. Seri ketiga dari kisah ini, Moralitas bagi Gadis-gadis Cantik, akan segera menyusul terbit. Bagi yang ingin menikmati (dan menghibur diri dengan) sebuah kisah detektif yang segar tanpa sedikitpun membuat kening berkerut, novel ini adalah pilihan yang tepat.
I didn't like the mysteries as much in this second book; they seemed a bit depressing. Also, I found the repetitiveness of what white people don't understand about African/Botswana morality to be heavy-handed. I also started to get concerned that if I were an impressionable young man reading this book, I would feel pretty much like an awful idiot because of how many times the traits of men are belittled, even if tongue-in-cheek cutesy-wutesly (the bad ones, true, but still). Smith uses Mma Ramotswe and Mr. JLB Matekoni to show the positives of men, but I do not think it is often enough. I also got a vibe of anti-American values in this book which seemed to be hackneyed. There is a lot of positives of African values, but if that is true, then there must be some positives of non-African traditions as well, particularly American ones. And by "American," the reader is probably meant to assume white American from the way Smith writes it, but I think most people would be surprised how superstitious Americans are in general, particularly when it comes to the "spirits of loved ones" in a context of religion, so I found Michael's mother to be a caricature, and only furthering to show that the intended reader herself should/ought to be a white one. In general, I dislike a superficial gloss of cultural-onlooking that makes everything different or indigenous to be "better" or more "natural." Misogyny is also quite traditional across the world, but to make it like some glimmering spectacle of the "good days" would seem silly to many readers of this book (especially given Smith's blatant feminist tilt), so I am not sure why everything that is African/Botswana has to be treated so reverentially in this book. Perhaps it's because, in general, Western culture has demonized and sniffed at many sub-Saharan African traditions, but the way the book handles it is lamentable. Or perhaps I take issue with it because I've been told I'm too "westernized" before. I think demonizing and "angel-fying" any given pronounced traits of a culture is too simplistic.The first book was better, but I hope the third will pick things up again with a more even approach to sharing Mma Ramotswe's detective agency shenanigans.
What do You think about Tears Of The Giraffe (2003)?
I made the mistake of reading Tears of the Giraffe first, loved it and couldn't put it down. However The No. 1 Ladies' Detective Agency I keep putting down and do not have the same enthusiasm for it but still enjoy this writer. I find he has a delightful and honest way of writing and having lived in Africa I find that he captures a great deal of what I remember about the beauty and simplicity of this great land.Thanks Chelsea for giving me your suggestion of the order in which to read the other novels.
—Chelsea Stephenson
This is fun and it becomes more apparent in this second instalment that the twee surface of the story is not an attempt to steer away from the harsher realities of life in Africa, in the same way that Mma Ramotswe's tactful and gentle approach to the people she deals with is a considered, and not a naive, strategy. Relatively little detecting goes on, much as before, but the story is charming and the ending is really quite moving. As undemanding escapism goes I don't think you could ask for much better.
—Derek Baldwin
The second book in the No. 1 Ladies' Detective Agency series finds Mma Precious Ramotswe (still the only female detective in Botswana) happily accepting Mr. J.L.B. Matekoni's proposal of marriage. After a disastrous first marriage to a trumpet-playing scoundrel, Precious swore she would never remarry. But Mr. J.L.B. Matekoni, the proprietor of a successful car repair shop, is everything she could ask for in a man...kind, considerate and worshipful of the ground Precious walks on. However, not everything will be easy, as Precious has to deal with complicated matters that now arise, such as the search for an engagement ring, the machinations of her fiance's jealous housemaid, and an unexpected addition to their little family. There are mysteries to solve as well, as she has decided to keep her detective agency in business. She must search for clues to the disappearance of an American boy who wandered away from a commune ten years past and never returned, and her secretary (recently promoted to the heady position of Assistant Detective) must tackle the matter of a wayward wife.I loved this just as much as I loved the first book, maybe even more! It was a book that was easy to get lost in, and I blew through it in a single afternoon. I love the author's portrayal of life in Africa, and I love how the characters seem so real, like people you would want to sit down and have a cup of bush tea with. There's just enough mystery thrown in to pique the curiosity, though it's easy to get wrapped up in the lives and relationships of the people and forget that it's supposed to be a mystery book at all! I love feel good books, and so far the ones in this series really seem to hit the spot. I'm eager to move on to the next installment!
—Liz