Sinopsis pada sampul belakang buku hijau berjudul asli Bel Canto ini begitu mengundang saya mengambilnya dari bak buku obralan di TM Bookstore Detos pada akhir tahun lalu. Sinopsis itu, bagian pertamanya saya ceritakan kembali seperti ini:Pada suatu pesta makan malam para diplomat dan usahawan di sebuah negara miskin di Amerika Selatan, sekelompok tentara gerilya menyerbu. Mereka menyandera lebih dari 200 tamu karena tidak menemukan presiden negara itu - sasaran utama untuk diculik - di antara hadirin. Yang konyol, sang presiden absen karena ingin menonton telenovela di rumah.Sampai di sini, sudah sangat komedik sekaligus satiris sekali cerita ini akan dibawa. Satu, pesta makan malam itu diadakan sebagai hadiah ulang tahun bagi seorang asing, industrialis Jepang terkemuka agar mau berinvestasi di negeri itu. Dua, bisa dong dibayangkan negara miskin Amerika Latin itu susah payah merogoh kas mereka demi mengadakan pesta kalangan tinggi dengan ratusan tamu. Tiga, aduuuh... betapa memalukannya rakyat dunia ketiga yang begitu kekurangan hiburan! Sampai2 presidennya sendiri tidak rela ketinggalan menonton episode telenovela yang tayang striping Senin sampai Jumat malam, di mana malam itu tokoh jagoannya Maria berhasil membebaskan diri dari sekapan musuhnya. Dahsyat! Mungkin kalau AC Nielsen membuat survei, rating telenovela itu bisa mencapai 8.5.Yang berikutnya terjadi, para gerilya penyerbu memilih menahan para sandera di tempat hingga tuntutan mereka dipenuhi pemerintah. Sambil menunggu, kita lihat sinopsis bagian dua: Para sandera perempuan kemudian dibebaskan, kecuali soprano ternama Roxane Coss dari Amerika Serikat.Roxane malam itu mendapat tawaran honor tinggi untuk menyanyi di pesta ulang tahun Katsumi Hosokawa. Berkat status selebritanya, Roxane kemudian menjadi pengikat kehidupan di rumah dinas wakil presiden Ruben Iglesias itu. Untunglah pengarang cerita ini baik hati, menciptakan komunitas sandera itu kelompok kelas atas, para diplomat dan usahawan kakap dunia yang tidak asing pada karya Puccini, Verdi, Chopin, atau Bellini. Semua orang di sana begitu memuja cewek Chicago itu. Bayangkan kalau yang manggung malam itu Rihanna atau KD. Siapa coba, bapak2 Jepang atau Rusia atau Jerman atau Spanyol atau Yunani atau Prancis separo baya yang bisa rela berhari2 mendengarkan "Ela... ela... ela... oo...ooo.." atau "Pernah ku mencintaimu... tapi tak begini..."?(hmm. Tunggu. Kayaknya ada salah sontrek lagi ya? Maap deh... Sengaja, hehe...)Demikianlah. Lanjutan sinopsisnya sebagai berikut: Kelompok tentara terus menuntut penyerahan presiden dan pelepasan kawan-kawan mereka yang ditahan pemerintah, namun tak kunjung dipenuhi. Walhasil, dalam masa sandera lima setengah bulan, semua sandera dan penyanderanya mengembangkan perasaan saling tergantung.Kondisi ini tanpa disadari terbangun atas sibuknya Gen Watanabe - aslinya adalah penerjemah Hosokawa - mondar-mandir menerjemahkan di berbagai sudut rumah itu: antara sesama sandera, antara sandera dan penyandera, serta antara penyandera dengan negosiator yang dikirim pemerintah, si orang Swiss Joachim Messner. Dari bagian ini, kita akan membaca dunia yang tersembunyi di balik partitur musik di atas piano Steinway di rumah sekapan para sandera itu. Hosokawa boleh dibilang pengagum Roxane, bahkan Roxane juga yang menjadi alasan satu-satunya hadir di perjamuan malam itu. Yang tak disangka, wakil presiden perusahaan Hosokawa sendiri, Tetsuya Kato, langsung menyingkap rahasianya sebagai pianis handal demi mengiringi Roxane. Bagaimana Fyodorov, menteri canggung dari Rusia tak bisa mengelak dari keindahan pesona lagu-lagu klasik itu membuat kita menyaksikan pernyataan cintanya yang tanpa syarat, karena tak minta dibalas. Demikian pula wapres Ruben Iglesias, yang selama ini cuma ban serep di negaranya, bisa menemukan perhatian dan cintanya pada hal2 kecil di sekitarnya, yang ternyata lebih penting dan bermakna daripada jabatan wakil presiden.Ternyata musik yang dinyanyikan diva itu tidak hanya menyentuh para pria kaya yang sering mendatangi gedung opera. Rasanya begitu bergetar saat membaca Roxane dan nyanyiannya memenuhi hati Pastor Arguedas, pria yang telah berikrar mengabdi pada Tuhan itu untuk berbuat baik. Salah satu anggota belia pasukan penyandera, Carmen, sampai rela tiap malam tidur berjaga di lantai depan pintu kamar Roxane, dan koleganya Cesar begitu penuh perasaan menyanyikan kembali lagu2 sang soprano tanpa paham artinya. Dan betapa para "jenderal" pasukan gerilya itu bisa begitu pengertian, memaklumi semua kebutuhan sang penyanyi il bel canto itu.Ah, ya... masa penyanderaan yang diisi dengan latihan menyanyi Roxane dan Cesar, tanding catur Hosokawa dan Jenderal Alfredo, kursus privat membaca dan menulis untuk Carmen oleh Gen, serta masak makan malam bareng itu akhirnya sukses menciptakan Sindrom Stockholm. Itu lho, sebutan bagi kondisi di mana korban penculikan atau penyekapan malah menjadi simpati pada penyekapnya. Baik para sandera maupun penyanderanya, sebagian tidak ingin kemesraan itu cepat berlalu. Mengutip lagu jadulnya Search, "Kita yang terlena, sehingga musim berubah..." dari sini cerita ini berjalan makin datar, hingga tak terasa lembar buku yang kita tahan di tangan sebelah kanan mulai menipis... menipis... dan berakhirlah kidung yang indah ini.Berakhir dengan cara yang mungkin sudah terlintas dalam benak. Berakhir sebagai jalan yang paling mungkin terjadi, kalau kita sering membaca berita penyanderaan.Tapi tetap saja...Sulit sekali buat saya menerima kenyataan bahwa kidung indah ini sudah tidak mengalun lagi. Sulit juga bagi saya untuk tidak beberapa jenak memikirkan betapa banyak anak2 di belahan dunia ini telah meyandang senjata bahkan membunuh. Sebagian besar karena terpaksa, demi kepentingan yang tidak mereka pahami tujuannya. Di Myanmar. Irlandia. Israel. Gaza, Somalia. Angola. El Salvador. Di mana2. Saya tak bisa menghindar dari memikirkan kenyataan bahwa setiap ada revolusi, rakyat kecil selalu menjadi korban terbesar, bukan seorang presiden gila telenovela. Sialannya, kok saya tidak bisa tidak menuding Amerika Serikat sebagai biang kerok, nih???Satu hal lagi terus melekat: jangan pernah menunda untuk berbuat kebaikan. Seperti saya tidak menunda membuka Embi dan mengetik review ini begitu Bel Canto ini selesai saya baca.Catatan tambahan: 1. saya memilih tidak menuliskan pasukan penyandera sebagai "teroris", istilah yang dipakai pengarang buku ini, karena ingat bagian dari novel Contact-nya Carl Sagan: "Jika kamu suka pada mereka, maka mereka adalah pejuang kemerdekaan; jika kamu tidak suka, mereka adalah teroris; dan jika kamu tidak bisa memutuskan menyukai mereka atau tidak, sebut saja mereka pasukan gerilya." Posisi saya adalah pembaca, bukan sandera, jadi mereka adalah gerilya.2. saya jadi ingin mendengarkan Verdi lagi. Ada yang bersedia kirim albumnya? *ga modal*15/01.2010
I was only 3 when Patty Hearst showed up on TV toting a semi automatic weapon looking bewildered and stylish in a ¾ length leather belted coat. Do I remember this? Hell no, I was three, but later… you know when I was like eight or nine and I would think it was so cool that she was brainwashed---what an interesting word--- and I’d have Barbie kidnap Skipper and force her to drop her frumpy ways and really live the lie…, I mean life. Sorry.So, what does that have to do with this? Well, I guess you could say that I was intrigued with the whole idea of Stockholm Syndrome way before I knew it had a name. Just imagine becoming emotionally attached to people that held you hostage. Isn’t that a bit fucked up? Duh. (As my 4 year old would say)So, Bel Canto, while the characters and events are mostly fictionalized, was based on an actual hostage situation in Peru in 1996. Where 72 people men were held up in the Japanese Ambassador’s home for 126 days. I must have been living under a rock, because I do not remember this… you think that something like this would have stuck, you know? I’m sure I was too wrapped up in my glee that Judge Judy was now being syndicated. Whoo. Can you imagine living with terrorists for 4 and ½ months? My god, I can’t imagine that the same level of fear is maintained. I would think that you would start to develop a relationship with these kids (yes, they were basically children) and start to feel that this is what your life has become. And so it goes in Bel Canto , these characters, hostages and terrorists are introduced systematically throughout the beginning of the ordeal and Patchett does a good job of fleshing them out and getting us attached. To a point. I think that this is one of those books where your opinion of it will vary depending on where you are in your life. I can see this book leaving different impressions on someone who maybe has just found new love and someone who is jaded by relationships. Moreover, I think that this could determine just how much you liked this book. I’ve teetered between 2, 3 and 4 starts in just the few days since I’ve finished it. This is most definitely a chick lit book. You’ve got the Soprano who has men falling at her feet (almost literally) every time she belts one out, you’ve got the young idealists who, of course, are beautiful and destined for a tragic outcome… and you’ve got the older, more elegant group of men, pining for love lost and all that. Something for every taste, I suppose. The appeal of a good book is how long and hard it stays with you. When I finished this, I was eager to share the story with my friends and family but as the days wore on, the shine was lost and I started to see the faults and the hackneyed plot. I miss the first day when I was caught up in the story and lamenting the outcome. Why can’t it always be like that?
What do You think about Bel Canto (2005)?
To me, this book is luminous. Glorious. Magnificent. Perfect. (Well, almost perfect. I'll explain in a moment.)I first read "Bel Canto" in 2005, and I was so absorbed in the story that I would sneak away from my desk at work just to have a few precious moments with it. The story opens with a renowned opera singer, Roxanne Coss, giving a private performance at the home of a vice president of an unnamed South American country. Several people in the room are already in love with her, and others will fall in love with the sound of her voice.The moment she's done singing, the room is stormed by guerrilla fighters, and everyone in the home is taken hostage. What follows is a fascinating look at what happens when a group of strangers are forced to live together for weeks. The fighters make demands, a poor Red Cross volunteer acts as intermediary with officers outside, and meanwhile, everyone inside the house tries to get along, despite numerous language barriers. Which brings me to one of my favorite characters, the translator Gen. Without Gen, the entire story could not have happened, because he was the one who helped people communicate. Gen is constantly in demand, translating from English to Spanish to Russian to Japanese and back to English again.There are some surprising and emotional attachments that form -- even Gen falls in love! -- and by the end of the book, I was in tears. My only complaint is with the ending, which I won't spoil, but to say I was devastated is an understatement. But given the scenario, you can't really expect a happy ending, can you?The characters are beautifully drawn, Ann Patchett's writing is gorgeous, and some of the scenes are so vivid that it would make a wonderful film. I would heartily recommend this book to anyone who loves literary fiction. Brava!
—Diane Librarian
this is one of my favorite books of all time. I gave it to friends at Christmas and one of them adored it as well. Not many books stay with me the way that this one did.
—Amanda
A novel about a hostage crisis that goes wrong -- with very sexy results, Bel Canto might have been a better read if at some point Patchett did anything to acknowledge the plot's ridiculousness. Instead, she treats the readers to vague social commentary about South America, multiple nobel savage tropes, and a crisis situation where people do have sex, but only after first taking the time to fall in love. It's also somewhat about opera, so allow me the metaphor that Bel Canto hits all the obvious notes with competence but without ever risking enough to engage the audience.Not to be a pure hater, I did love the hell out of the cover art.
—Aaron