Saya selalu berpendapat, bahwa setiap anak kecil itu pasti lucu dan menyenangkan. Kalau ada seorang anak kecil yang tingkah lakunya menyebalkan, menjengkelkan, dan bikin saya pengen mentung dia, maka sudah pasti kalau orang tuanya jauh jauh jauh lebih menyebalkan.Misalnya saja seperti kejadian yang saya alami di siang itu. Ketika itu, saya dan dua orang teman saya sedang berjalan di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Tiba-tiba, seorang anak kecil menabrak teman saya, lalu kemudian dia berteriak-teriak histeris sambil menatap marah ke arah teman saya, seolah teman saya ini telah mencubit atau memukul dia. Dan, coba tebak? Si ibu, yang begitu bergaya dengan celana pendek, sepatu hak tinggi, dan kacamata hitam, di sampingnya cuma melihat begitu saja, lalu pergi. Tidak ada kata-kata. Tangan si anak bahkan tidak dipegang olehnya.Jadi, ketika melihat Rhiannon, sahabat Floss (atau mantan sahabat Floss?) di cerita ini begitu sangat menyebalkannya, maka saya sudah tahu kalau ibunya pasti jauh-jauh lebih menyebalkan. Dan, saya benar. Ibu Rhiannon adalah ibu-ibu sosialita masa kini, yang selalu mengukur segala sesuatu dari materi saja. Hebatnya, ia selalu merasa menjadi pahlawan dan berlagak seolah dia adalah warga negara yang baik dan benar.Misalnya, ketika Floss, sang tokoh utama kita, memilih untuk tinggal dengan ayahnya di sebuah cafe bobrok, alih-alih pindah ke Australia bersama ibu, ayah tiri, dan adik tirinya. Mamanya Rhiannon kemudian bersikap seolah-olah Floss ditelantarkan oleh ibu kandungnya, dan si ayah tidak bisa mengurus putrinya sendiri. Beberapa kali ia ikut campur kehidupan Floss, meskipun Floss tidak memintanya, dan bantuan itu justru menyulitkannya.Sebenarnya, Floss merasa senang-senang saja tinggal dengan ayahnya. Meskipun rumah mereka sempit, meskipun ayahnya tidak tahu kebiasaan ibu Floss untuk mengusap-usap kepala Floss ketika dia melihat mimpi buruk, meskipun si ayah tidak bisa menyetrika dengan benar, meskipun si ayah sangat miskin (beda dengan ayah tiri Floss yang kaya raya) dan mereka terancam terusir dari rumah yang penuh kenangan, ketika keluarga mereka masih utuh. Floss tetap bersabar, karena ini adalah pilihannya.Ya, walaupun tentu saja sebagai seorang anak dia merasa sedih. Ada kalanya dia merasa ingin terbang ke Australia (dengan tiket pemberian ibunya sebelum mereka berangkat) dan lari ke pelukan sang ibu yang disayanginya. Namun sebagian dirinya menahannya, karena sang ayah hidup sendirian, dan hanya memiliki dirinya.Floss sempat bingung, dan tidak bisa memilih harus ikut yang mana. Kenapa dia tidak bisa memilih mereka berdua? Kenapa ayah dan ibunya harus berpisah, dan ketika ia bertemu yang satu, maka yang lainnya tidak bisa bersamanya? Kenapa mereka tidak bisa hidup seperti dulu lagi?Floss tidak bisa memilih, dia sayang keduanya. Memilih untuk ikut sang ibu selama enam bulan di benua yang sama sekali baru, atau tetap tinggal di Inggris bersama sang ayah, adalah dua hal yang sangat sulit. Namun, akhirnya Floss memutuskan, bahwa ayahnya lebih butuh dirinya. Ibunya punya Tiger, adik tiri Floss, dan tentunya suami barunya. Sementara ayahnya, hanya punya dirinya.Kehidupan baru Floss tentu tidak mudah. Kamarnya tidak lagi sebesar kamarnya yang dulu, ayunan kesayangannya juga tertinggal di rumah lamanya, ia juga sering bermimpi buruk karena rindu pada ibunya. Ditambah lagi, sahabat terbaik Floss mulai menunjukkan sikap aneh. Rhiannon yang pada awalnya tampak sangat antusias karena Floss akan pindah ke Australia--dan menganggap sahabatnya itu sangat keren--kini justru menunjukkan sikap sebaliknya. Rhiannon tidak tampak senang Floss tetap ada di dekatnya, apalagi karena kini Floss tinggal di sebuah rumah kecil dan jelek, yang sekaligus menjadi cafe tempat ayah Floss mencari nafkah.Rhiannon mulai menganggap Margot dan Judy sebagai anak yang menyenangkan. Yang benar saja! Margot dan Judy itu kan hobinya mengolok-olok orang! Ya, Rhiannon juga sama, sih... Tapi karena Rhiannon itu sahabat baik Floss, ia tidak merasa Rhiannon menyebalkan. Di kelas itu, orang yang selalu menjadi target olok-olok favorit Rhiannon adalah Susan, seorang murid pindahan yang sangat pandai, dan tahu banyak hal. Floss sebenarnya tahu kalau itu tidak baik, dan meskipun ia ingin berteman dengan Susan, ia lebih takut kalau Rhiannon akan memutuskan persahabatan mereka.Entah apa yang ada di pikiran Floss. Padahal Rhiannon semakin memperlakukannya dengan buruk. Ia diam saja ketika Margot dan Judy mengatai Floss, bahkan ikut tertawa bersama mereka. Ia juga menghilangkan gelang persahabatan sederhana yang dibuat Floss dengan segenap hatinya untuk Rhiannon. Sebagai gantinya, Rhiannon justru tampak sangat menginginkan gelang Floss yang cantik, yang sebenarnya adalah hadiah ulang tahun Rhiannon untuk Floss!!Akankah Floss tetap mempertahankan persahabatannya dengan Rhiannon? Apakah hidup Floss akan terus sial, meskipun Rose, seorang wanita karismatik yang mampu meramal, yang ditemuinya di karnaval mengatakan bahwa keberuntungan akan mendatanginya? Lalu, bisakah Floss tetap tinggal bersama ayahnya, ketika keadaan semakin memburuk dan mereka terancam menjadi tuna wisma?Permasalahan Floss sebagai seorang anak cukup kompleks di cerita ini. Memang bukan sesuatu hal yang mustahil, karena banyak anak di luar sana yang mengalami nasib yang sama, atau bahkan lebih buruk, dari Floss. Perceraian dan kesulitan ekonomi adalah dua hal yang diangkat JW dalam novel "Candyfloss" ini. JW menceritakan dengan sangat baik bagaimana perasaan Floss yang terbagi dua, ketika ia harus memilih antara pergi ke Australia bersama ibunya, atau tinggal di Inggris dengan ayahnya. Tidak adil rasanya, seorang anak yang harus memilih seperti itu, tapi toh, dunia ini memang penuh dengan ketidakadilan, bukan?Berkali-kali mata saya berkaca-kaca ketika membaca cerita ini. Terutama ketika Dad, ayah Floss, menunjukkan betapa besar rasa cintanya kepada putri semata wayangnya. Bagi Dad, Floss adalah dunianya. Tempat kebahagiaannya bermuara. Tempat ia merasa tidak sendirian di dunia ini. Dan Dad adalah tokoh favorit saya di cerita ini :")Melalui kisah ini, JW juga ingin menyampaikan bahwa kita hidup di tengah dunia yang hanya memperhatikan hal-hal fisik. Saya nggak habis pikir ketika Rhiannon mengatakan bahwa ia hanya makan makanan sehat, dan menolak makan chip butties (semacam kentang goreng atau potato wedges gitu deh) buatan ayah Floss. Oh iya, chip butties sendiri adalah menu andalah ayah Floss, dan cip butties buatan ayah Floss sangat lezat.Ya, iya sih, dari kecil memang sudah harus makan makanan yang menyehatkan. Tapi pola makannya Rhiannon itu udah kayak remaja-belasan-tahun-yang-terobsesi-dengan-tubuh-kurus-biar-bisa-kayak-model. Sungguh nggak masuk di akal. Ya, rasanya sih sedih aja, kalau dari anak-anak udah diajarin kayak gitu. Saya jadi merasa losing faith in humanity.Tapi, saya lalu melihat Floss. Gadis kecil yang tegar dan kuat. Kadang saya merasa lupa kalau Floss itu masih kecil (mungkin sekitar 8-10 tahun), dan merasa sedang berhadapan dengan remaja berusia 16 atau 17 tahun. Floss tampak sangat dewasa, dan juga bijaksana, tapi tidak dengan cara yang menyebalkan dan menggurui. Jadi, tiga bintang untuk "Candyfloss" yang membuat saya merasa senang sekaligus sedih ketika membacanya.
Candyfloss is the story of Flora Barnes, or Floss as she's known to her friends and family. (Candyfloss is cotton candy in Britain - there's a handy glossary at the end of the book to translate many of these sorts of terms for American kids.) The book begins with Floss's birthday, and an announcement from her mother that they will soon be moving to Australia. The only problem is that Floss's parents are divorced, and no one's told her father yet. Floss has to choose which parent to stay with, although everyone thinks it's obvious that she will join her mother. But her father's business is failing, and she worries about him being alone. So she stays, creating all sorts of problems between her and her mother.In addition to her family difficulties, Floss has problems with the girls at school. Her "best friend" Rhiannon is a terrible person, a total snot who would rather look down her nose at Floss and tease her than stick up for her. It takes Floss a while to realize it, but eventually she chooses the right friend. She continues to help keep her dad's spirits up as things get progressively worse for them, but things do turn around in the end.This was a good book, but it may be a bit heavy for younger kids, and Floss is a little bit too childish for some older kids to connect with. I thought the book was sweet, although I felt that a disproportionate number of the chapters ended on a melancholy note. Things just don't go right for the family for most of the book. It'd be a good book for most fifth or sixth grade girls, who are in the awkward stage of becoming teenagers.
What do You think about Candyfloss (2007)?
No. Just no. I read this on a deal with my friend, and I think she got the better end of it. She got to read The Secret Garden! (and might I add, she hasn't started yet.....)The book was far too predictable, but it wasn't a book that you could just pick up and read without thought. It was a book that wanted to suck my face off and turn it into a bubbling dollop of gloop.One major problem with this book was the blurb. I read it first, as I do with all books, to see if I would even want to read it in the first place. The problem with it was that it explained everything in the book, right up to the last chapter, and left nothing to mystery. I was left hanging, thinking, if it doesn't happen soon, nothing else will happen in the book at all! And sadly I was right. Nothing did happen. It was a let down.Back to the subject of predictability, the mural at the start of each chapter didn't help. I could glance at it and know exactly what happened, and in exactly what order. It certainly took away the sense of mystery, the wondering what was going to happen, and that's what I enjoy most about books.May be I just waited too long to start on Jacqueline Wilson. May be I got too old. May be younger kids would actually enjoy this. But, may be, it's not me, but rather the book. May be it's just too cliché, too, too, Candyfloss.
—Hayley
Candyfloss is a name of a girl who lives who her dad, who owns a fish and chip shop. Even though she doesn’t socialize much she loves having her own company. But things start to go horribly wrong when her days business go bank- erupt and he thinks it is best to go live with her mum in Sydney with her boyfriend. Candyfloss doesn’t want to go and leave her dad, so she decides to stick around. Her dad decides to spend the last amount of money on Candyfloss. She always wanted to got to the fairfun,
—Ty Morgan
3.5 stars I really wished there was just one more chapter ! The ending felt very abrupt without itBut either way, Jacqueline Wilson is one of my favorite childhood authors and her books have honestly changed me as not only a reader but also as a person.Now that I'm older I was given this book by a younger friend and it was such a fantastic trip down memory lane. Although it isn't one of my favorites from the author, I loved the characters, I loved the story and I love how she deals with heavy topics in a simple manner so that pre-teens can understand and relate and maybe even heal (like I did back then) I would definitely recommend it to anyone out there It's a great time with wonderful characters As all her books are :)
—Melusha