What do You think about Child Of All Nations (1996)?
Masih ingat gaya bercerita buku-buku teks Sejarah waktu sekolah ga'? gaya penulisannya kurang pasti objektif, kronologis, dan penuh tanggal-tanggal yang wajib kita hapalin karena selalu muncul di ujian.Keknya emang itu satu-satunya cara para penulis buku teks yang digunakan di sekolah-sekolah buat mempertahankan keobjektifannya dan “tidak memihak”. Tapi, kalok nDaru bilang sih hal kekgini bikin sejarah menjadi kering — kehilangan nuansa, sepanjang nDaru ngikutin buku sejarah dari SD mpe SMA, gak ada yang membawa kita bisa merasaken "feel" ato greget kronologi kejadiannya. Kita endak tahu seperti apakah keadaan emosi suatu zaman. Kita endak bisa menyatu dan ikut merasakan apa sih yang dialami tokoh-tokoh sejarah di masa itu. Kita hanya tahu bahwa Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Tapi kita endak pernah tahu apakah beliau sempat tidur sejak diculik pemuda ke Rengasdengklok, apa beliaunya bahagia?apa beliaunya malah takut? Tiba-tiba saja ditodong disuruh mbikin naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Trus mbikin UUD buwat negara yang baru saja laer ini. Lha...baru di buku Anak Semua Bangsa, kita bisa melihat sudut kehidupan yang lain yang diceritakan buku teks sejarah tentang zaman kebangkitan nasional. kalok buku teks sejarah menghadirkan tokoh sentral macam Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker, dan dr. Cipto Mangunkusumo, Pramoedya memulainya dari tokoh fiktif bernama Minke, seorang pribumi yang nDaru yakin gak pernah dicatat sejarah manapun.Minke berasal dari kelas masyarakat yang jarang dipotret oleh buku sejarah. Si Minke ini termasuk pribumi yang beruntung karena bisa sekolah di HBS, sekolah bikinan Belanda yang waktu itu cukup ngetren di ranah Eropa. Karena pinter, ia jadi penulis di sebuah harian berbahasa Belanda, sesekali menulis dalam Bahasa Inggris,pokoknya Eropa-minded banget lah, disamping itu Si Minke ini juga cenderung congkak karena kedudukan dan kepinterannya.Dari kacamata seorang yang sama sekali endak punya kepedulian terhadap bangsanya sendiri — bahkan dikisahkan si Minke ini endak mau menulis dalam bahasa Melayu sama sekali — kita diberikan gambaran seluas-luasnya tentang corak, emosi, dan budaya masa-masa itu tanpa batas. Dari mendalami Minke berproses dari Eropa-minded menuju ke kesadaran cinta tanah air dan pentingnya kemerdekaan ini, kita merasa dekat dan rasanya masa tersebut begitu dekatnya dengan semua proses kemerdekaan bangsa ini.Anak Semua Bangsa cuman sebuah potret kecil kehidupan Minke. Kata paman Wikipedia--dapet dari non Darnia--Roman ini merupakan buku kedua dari Tetralogi Buru: Bumi Manusia, Rumah Kaca, dan Jejak Langkah. nDaru sendiri udah baru mbaca yang Anak Semua Bangsa ini sama Bumi Manusia, tapi buku yang kedua ini yang lebih nyantol di jidat nDaru.Roman ini masuk dalam kategori berat buat dibaca, apalagi ni buku menceritakan kebangkitan nasional dari sisi yang beda, jadi buku ini nDaru rasa tetap endak cocok buat anak-anak sekolah. Buku teks yang konvensional keknya masih lebih baek buat memberikan dasar pengetahuan bagi mereka. Mungkin roman ini sesuai untuk mereka yang udah matang dalam menyikapi sejarah dan ingin memperkaya pengetahuan tentang masa-masa kebangkitan nasional.Sekian gacoran sayah yang sok analis inih..slamat mbaca bukunya!!
—Andanti Prasetyandaru
Hapus air mata dan lepas semua duka lara..lihatlah keadaaan disekelilingmu;“Sebagaimana kita akan tetap terkenang pada hari ini, dia pun seumur hidup akan diburu-buru oleh kenangan hari ini, sampai matinya, sampai dalam kuburnya.” Nyai Ontosoroh“Ya Ma, kita sudah melawan, Ma, biarpun dengan mulut.” MinkeIni adalah kisah tentang duka..tentang kehilangan..Annelies..Ini juga merupakan sebuah periode bagi Raden Mas Minke..untuk bangkit dari kesedihan..lewat sepotong cerita dari Tulangan, Sidoarjo..Daerah asal Nyai Ontosoroh, Minke menemukan Kisah Nyai Surati dan petani Trunodongso..kisah yang secara tidak langsung menyingkap tabir masa lalu kelam bagi sang tuan besar Mellema..dan dari Tulangan, Minke yang sudah terbiasa menikmati segala sanjung puja lewat garis bangsawan yang dimilikinya, melihat dengan mata kepalanya sendiri..kenyataan bahwa rakyat jelata tak berdaya..melawan kekuasaan bangsa Eropa..Lewat para sahabatnya yang merupakan anak segala bangsa; Jean Marais, Kommer, Khouw Ah Soe dan korespondensinya dengan keluarga de la Croix (Herbert, Sarah dan Miriam)..juga lewat guru sekaligus ibu mertuanya; Nyai Ontosoroh..Minke disadarkan untuk tak melulu membanggakan peradaban Eropa..untuk tak selalu mengunggulkan catatannya dalam bahasa Belanda..lewat anak segala bangsa..kesadarannya mulai tergugah.. bahwa untuk melawan segala bentuk ketidakadilan yang mendera bangsanya..ia harus menulis dalam bahasa bangsanya..dan berbuat sebaik-baiknya bagi bangsanya..Berhasilkah Minke mencapai tujuannya??
—Michiyo 'jia' Fujiwara
Sekarang saya tahu kenapa Pram pernah menjadi nominee Nobel Sastra.Berbeda dengan Bumi Manusia yang masih berkutat mengenai kisah cinta dan distorsi idealisme Minke terhadap pemerintahan Hindia Belanda, dalam Anak Semua Bangsa mulai diputarbalikkan segala yang tadinya, saat di Bumi Manusia, diagung-agungkan oleh Minke; kemajuan dan keagungan peradaban Eropa. Dalam Bumi Manusia Minke masihlah seorang terpelajar yang mengagungkan Eropa dan mengkerdilkan bangsanya sendiri, sampai ketidakadilan mengenai Annelies, istrinya, membuka matanya mengenai sikap Belanda yang sesungguhnya terhadap kaum Pribumi, namun selesai begitu saja dengan akhir yang menggantung. Dalam sekuelnya kali ini, setelah terlepas (atau dipaksa untuk melepas) dari masa berkabungnya, Minke semakin membuka matanya atas nasib bangsanya sendiri, yang terjepit di bawah kekuasaan penjajah. Dan pembukaan matanya ini diprakarsai oleh sindiran sahabatnya, Jean Marais, atas ketidakinginan Minke untuk menulis dalam bahasa Melayu, bahasanya sendiri."Apa kau tak mau tahu?" bantahku, "hanya orang kurang atau tidak berpendidikan saja membaca Melayu?" (hal 72)"Apa akan bisa ditulis dalam Melayu? Bahasa miskin seperti itu? Belang-bonteng dengan kata-kata semua bangsa di seluruh dunia? Hanya untuk menyatakan kalimat sederhana bahwa diri bukan hewan?" (hal 152)Ya. Alasan Minke tidak mau menulis dalam Melayu atau Jawa adalah karena baginya bahasa tersebut hanya dipergunakan oleh orang tidak berpendidikan, Pribumi tidak berpendidikan, sementara jika ia ingin menjadi penulis, ia seharusnya menulis dalam Belanda, dengan kans pembaca yang lebih terpelajar. Sungguh ironis, kala membaca bahwa justru Jean Marais-lah, seorang Prancis, yang berusaha menyadarkan Minke akan keperluannya menulis dan berseru untuk bangsanya sendiri. Bukan hanya Jean saja, ketika semua bujukan lembut pelukis itu tak dapat menembus dinding ego Eropa Minke, Kommer pun juga turut turun tangan. Kommer sendiri adalah seorang peranakan Indo yang mengesampingkan darah Eropanya dan memutuskan untuk menulis Melayu. Lagi-lagi, ironis.Kata Kommer terhadap Minke:"Ya, Tuan, bukan Pribumi yang justru merasa punya kepentingan memberi kabar dalam Melayu dan Jawa pada Pribumi. Kan itu hebat, Tuan. Bukan Pribumi! Juga bukan Pribumi yang merasa berkepentingan bahasa Melayu dan Jawa berkembang baik. Bahasa miskin? Tentu. Semua yang dilahirkan memulai hidup tanpa mempunyai sesuatu kecuali tubuhnya dan nyawanya sendiri. Tuan tak terkecuali." (hal 153)"Tanpa mempelajari bahasa bangsa-bangsa lain, terutama Eropa, orang takkan mengenal bangsa-bangsa lain. Bahkan tanpa mempelajari bahasa sendiri pun orang takkan mengenal bangsanya sendiri. Dan tanpa mengenal bangsa-bangsa lain, orang takkan mengenal bangsa sendiri dengan lebih baik." (hal 158)Buku yang sangat ambisius, kalau boleh mencatut salah satu review teman saya. Di seluruh buku dari awal hingga akhir penuh selentingan tentang nasionalisme dan ajakan untuk mengenali bangsa sendiri, dan menyuarakannya kepada bangsa sendiri, dengan bahasa sendiri. Bukan dunia internasional, bagi Pram, yang patut diajak bangkit dan kagum pada bangsa kita, melainkan bangkitkan pengetahuan akan bangsa sendiri dengan cara bercermin dari dunia-dunia lain, dan dengan itu ajaklah semua rakyat untuk mengubah bangsanya di mata dunia. Semua. Bukan hanya satu-dua.Sebuah novel yang berhasil menampar muka saya berkali-kali dengan selentingan tentang menjadi penulis bangsa yang baik dan semangat nasionalismenya. Sembah sujud untuk Pramoedya Ananta Toer.5 bintang untuk kejeniusan karya anak bangsa.Tabik, Indonesia!
—Yuu Sasih