Sudah cukup lama ingin baca buku ini, karna masih ragu. Ternyata setelah membacanya, saya pun tak ragu memberikan bintang lima :). Saya merasa menemukan semua yang saya cari di Garis Perempuan. Sisi problematika hidup perempuan, sosial, tradisi dan budaya, pluralisme, persahabatan, kekeluargaan, pesan moral, diksi indah serta cara penyampaian yang cerdas.Garis Perempuan menggambarkan cerita empat perempuan yang bersahabat dalam menjalani kodrat mereka sebagai perempuan dewasa. Ranting, Gendhing, Tawangsri dan Zhang Mey akhirnya menemukan apa arti keperawanan bagi hidup mereka masing-masing setelah melalui berbagai hal. Dari plot yang 'sederhana', penulis dapat menjadikan sebuah kisah yang luar biasa. Banyak perenungan dan cara berpikir para perempuan yang ditawarkan Sanie B Kuncoro. Secara pribadi buku ini sungguh menyentuh saya. Terutama dengan karakter Ranting dan Gendhing.Brava! Pada akhirnya aku mendapatkan buku ini, setelah sempat ‘hilang’ dari peredaran karena laris manis.Udah lama banget pengin baca buku ini setelah baca review teman-teman yang menarik hati.Membaca buku ini menimbulkan garis-garis pemikiran di benakku, akankah membentuk suatu gambar yang indah ?Sanie, yang menceritakan kisah-kisah dalam buku ini dengan berganti-ganti sudut pandang, mengawalinya dengan selasar, sebuah pendahuluan. Kisah masa kecil empat bersahabat yang sama-sama anak tunggal perempuan di keluarganya. Ranting, Gendhing, Tawangsri, dan Zhangmey, dengan karakter yang berbeda-beda dan latar belakang keluarga yang berbeda pula. Sanie mengulik kisah masa kecil itu dengan sangat jelas, yang membuatku teringat dengan pasaran dan permainan lainnya di masa kecilku.. yang mungkin tak seindah yang kudambakan, namun tetap saja menyimpan kepingan-kepingan yang mengesankan.Mereka bertumbuh di lingkungan yang berbeda, dan itupun menumbuhkan mereka menjadi pribadi yang semakin kuat dengan karakter yang berbeda-beda. Namun begitu segala perbedaan yang ada tidak menjadikan persahabatan mereka terganggu. Mereka tetap bersahabat dengan bentuk yang berbeda, yang tidak selalu diwakili dengan pertemuan. Pertemuan menjadi suatu hal yang sangat spesial mengingat terpisahnya mereka oleh jarak dan profesi.Ranting tumbuh menjadi seorang gadis yang kuat, tabah menghadapi segala tantangan beratnya kehidupan, terutama dari segi perekonomian keluarga. Seolah tak cukup derita yang harus dia tanggung, sakitnya sang ibu, mengantarnya pada suatu keputusan untuk menjadi istri ketiga dari seorang pengusaha kaya. Aku begitu terkesan dengan gambaran saat malam pertama Ranting, dihadapkan dengan tarik-menarik dalam hatinya. Kala setagen yang tadinya membebat perutnya dengan sangat kencang hingga menyesak napas, justru saat itu baginya adalah ‘pelindung’ terakhir yang diharapkannya tidak akan terlepas, bagaikan kisah Drupadi yang hendak diperkosa Dursasana. Semua itu dihadapinya tanpa rasa cinta, ya Ranting tak pernah tahu rasanya dicintai dan direngkuh dengan cinta, bukan berahi. Walaupun begitu, Ranting akhirnya memenangkan hatinya, setelah akhirnya memutuskan untuk berusaha lepas dari jerat sang suami yang tidak dicintainya. Dalam kelemahlembutannya, ada kekuatan yang tersembunyi yang memampukannya untuk berontak.Gendhing bergumul dengan impian masa depannya yang diharapkan lebih baik dari kedua orangtuanya. Masa depan yang kabur itu seolah menjadi kelam setelah sebuah musibah menimpa keluarganya. Dalam bayang rentenir dan kisahnya dengan seorang lelaki yang menemaninya menikmati sekeping senja, Gendhing menghadapi persimpangan jalan. Antara haruskah dia menuruti kata hatinya demi keluarga dengan jalan yang ‘mudah’, atau kata hatinya untuk mencari jalan lain yang lebih ‘sulit’ ? Gendhing adalah seorang yang berani, berani untuk mengatakan tidak demi sebuah nurani. Berani untuk berjuang, betapapun sulitnya jalan yang harus dia jalani, dan sampai kapan pun itu. Tawangsri, seorang gadis yang haus akan kasih sayang seorang ayah. Kehausan itu telah menghantarnya pada peliknya perasaan yang dimilikinya terhadap sosok ‘ayah’ yang dia dambakan sejak kecil. Menarik membaca bagian tarik ulur perasaannya untuk mendekat pada sosok itu atau menjauh, rasa yang mungkin pernah dirasakan semua orang pada awal masa jatuh cinta, antara ya untuk terus maju, atau tidak untuk berhenti dan mundur. Langkah yang Tawangsri ambil ternyata tidaklah semudah jalan cinta orang lain. Ada sebuah tembok penghalang dari masa lalu, yang tiada akan pernah dapat diruntuhkan, karena tembok itu ada dalam pikiran. Tawangsri, adalah pribadi yang tahu apa yang dia inginkan, namun begitu mengalah pada sebuah kenangan yang tiada akan pernah dapat tercerabut. Dahulu aku pernah berangan, andai saja tiap orang tidak mengembangkan rasa pada lawan jenis yang sedang/pernah dilanda cinta pada orang lain, maka tidak akan ada rasa sakit selanjutnya. Itu yang pernah menjadi prinsipku untuk sekian tahun, hingga akhirnya kulanggar, dan akhirnya sakit sekali.Zhangmey, satu-satunya keturunan Tionghoa di antara 4 bersahabat, merasa akrab dengan budaya dan kehidupan Jawa yang ada di sekitarnya, sehingga dia lebih suka menjalani dan menikmati hal-hal yang berbau Jawa daripada yang dari keturunan nenek moyangnya. Zhangmey bergumul dengan kisah cinta beda suku bangsa, yang bukan hanya menyangkut 2 jiwa, namun juga kebanggaan dan harapan keluarga. Kisah ini belum sampai pada titiknya, namun sebuah koma yang perlu dilanjutkan hingga akhirnya. Zhangmey dipilihkan jalan yang tidak mudah, tidak juga berarti tertutup. Masih ada asa, walau bagai secercah cahaya yang menghimpit dalam kegelapan. Zhangmey, sosok yang berani mencinta dan berani untuk mempertahankannya, walau entah sampai kapan.Keempat kisah ini berdiri sendiri-sendiri, namun kembali terangkai dalam selasar akhir yang menyatukan keempat sahabat itu untuk kemudian memisahkan mereka kembali. Lokasi penceritaan, nampaknya di seputar Solo, dengan petun juk Pasar Klewer. Meski dari segi situasi penceritaan, nampaknya pantas juga untuk diceritakan dari Yogyakarta. Aku membayangkan sudut-sudut Yogya yang mana yang pantas untuk masing-masing kisah ini. Yang kurang jelas adalah periode waktunya… apakah ini menggambarkan situasi di masa kini ataukah beberapa tahun silam ? Mencuplik dari gambaran-gambaran Sanie, kisah ini relatif ‘baru’ dengan perkembangan kabar perekonomian, dan lain sebagainya. Hanya saja, menurutku cerita ini rasanya lebih pas di ambang tahun 90an, karena latar belakang ceritanya. Sanie membahasakan bagian-bagian tertentu dari pembicaraan para sahabat dengan berbagai istilah keilmuan, yang kadang kurasa agak ‘tinggi’, namun tetap saja mendapatkan alasan yang kuat, karena pembicaraan itu dilakukan antara para sahabat yang memang pandai, bahkan 2 di antaranya kuliah.Isu penting dalam buku ini adalah tentang keperawanan. Bahwa ternyata keperawanan itu bisa menjadi suatu keiistimewaan, maupun suatu ‘senjata pamungkas’ yang dapat mempunyai nilai tawar. Tak dapat dipungkiri, sebuah selaput yang sering dianggap sama dengan keperawanan itu ternyata menjadi komoditas, yang ditawarkan oleh yang empunya, maupun yang dicari oleh peminatnya. Bagiku, keperawanan bukanlah sekedar sebuah selaput, keperawanan itu terutama ada pada hatinya. Bagaimana tidak ? Mungkin saja banyak wanita yang ‘kehilangan’ selaput daranya tanpa keinginannya, karena kecelakaan, olahraga yang terlalu keras, atau perbuatan orang-orang yang cacat moral ? Apabila itu terjadi pada mereka tanpa mereka kehendaki, apakah berarti mereka kehilangan keperawanan ? Bagiku tidak. Mereka kehilangan bagian dari tubuhnya, iya. Tapi perempuan sesungguhnya kehilangan keperawanannya pada saat ia menyerahkan segenap hati dan tubuhnya pada seorang lelaki yang dia cintai, bukan sebagai pemuasan berahi, namun sebagai luapan rasa cinta. Tilik kasus yang dihadapi oleh Ranting. Menurutku Ranting memang diperkosa oleh suaminya, karena Ranting sama sekali tidak menghendaki apa yang terjadi padanya, namun ia tak kuasa melawannya. Pada saat itu Ranting kehilangan sebagian dari tubuhnya, namun dari satu sisi, dia tetaplah perawan. Ini memang pandangan pribadiku, sebuah refleksi dari sebenarnya apakah yang disebut keperawanan itu ?Tentu saja, sebuah selaput itu tetap harus dijaga, namun bukan untuk sebutan ‘keperawanan’, melainkan untuk hal-hal yang lebih penting dari itu. Kita punya batasan moral dan batasan menurut ajaran agama masing-masing, dan sesungguhnya itu jauh lebih layak dijadikan alasan untuk menjaga bagian istimewa dari perempuan itu, sehingga tidak dijadikan komoditas.Aku tertarik menyoroti mengapa seringkali masalah ‘keperawanan’ lebih disorot daripada ‘keperjakaan’ ? Terdapat ketidakseimbangan di sini, yang seharusnya standar yang diterapkan masing-masing orang adalah sama, bukan standar ganda. Mencoba melihat dari porsi yang berimbang saja.Apakah hanya perempuan yang pantas untuk diukurkan standar itu, tapi tidak untuk lelaki ?Hmm.. buku ini memang menggariskan banyak pemikiran di benakku.. :)
What do You think about Garis Perempuan (2010)?
Hadiah dari Roos & Miaaa, plus 5 buku Mafalda.
—Nareth