Ketika SMP, saya mulai tertarik dengan segala hal yang berbau Jepang. Awalnya, tentu saja karena di masa saya, yaitu awal 2000-an, anime begitu marak menghiasi layar kaca negeri ini. Samurai X, Inu Yasha, Fushigi Yuugi, Kindaichi, Conan, Dragon Ball, Digimon, sangat banyak dan hampir semuanya nggak pernah lupa saya tonton. Saya juga suka baca manga, meski jarang banget beli, dan dari situ mulailah kecintaan terhadap Jepang. Saya mulai dengerin lagu Jepang, suka beli Animonster, jadi tau band-band Jepang, kebudayaannya juga, hingga akhirnya ketika SMA, saya punya cita-cita baru. Saya mau kuliah di Jepang.Sayapun mendaftar beasiswa Monbusho yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang. Sayangnya, saya gagal, karena di kelas 3 itu saya benar-benar males banget belajar. Jujur aja, masa kelas 3 SMA itu adalah masa paling membosankan dari SMA, dan mungkin dari hidup saya juga. Nggak ada yang berkesan disana. Lalu, karena saya masih mau banget dapat beasiswa ke Jepang, jadilah saya masuk sastra Jepang. Sebelumnya saya sempat milih Komunikasi dan HI juga (ketika try out xp), tapi karena saya nggak ikut bimbel, jadi ya sudah, saya ambil Sastra Jepang (sebenarnya sih Prodi Jepang, karena kami nggak hanya belajar sastra aja) UI sebagai pilihan pertama saya. Alhamdulillah, saya keterima... :)Prodi Jepang tuh benar-benar surganya para otaku dan pecinta Jepang. Ada yang maniak anime, ada yang maniak manga, maniak dorama, boyband Jepang, hingga band-band rock juga. Di tempat itu, saya bisa mendapatkan hal-hal yang berhubungan dengan Jepang dengan sangat mudah, dan kebanyakan gratis pula xp. Tapi, seiring dengan mulai mengetahui banyak hal tentang Jepang, kecintaan saya terhadap Jepang jadi menurun. Jadi biasa-biasa saja. Hingga akhirnya saya dapat program pertukaran pelajar selama setahun ke Jepang, dan rasa cinta saya pun mulai berubah jadi benci.... #tsaaahhh #lebaaayyyYa. Jepang yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri itu nggak seindah bayangan saya. Orang-orangnya dingin dan nggak mudah bergaul dengan orang lain. Mereka nggak kenal sama Indonesia (yang bikin saya merasa seperti orang bodoh, karena sempat suka banget sama Jepang). Mereka nggak tau kalo nasi goreng dari Indonesia (taunya dari Thailand mosok... -__-). Cowoknya dingin-dingin, tepean, dan kayaknya pengennya dikejar-kejar sama cewek. Mereka juga nggak tau Islam, apalagi jilbab yang saya pakai. Beberapa kali mereka ngira kalo jilbab itu pakaian tradisional Indonesia, meskipun saya beberapa kali juga dibilang cantik sih... :") (muji diri sendiri). Yah, intinya saya sempat merasa muak dengan hal-hal berbau Jepang. Saya nggak mau dengerin lagu Jepang, nggak mau baca manga, nggak mau nonton anime, dan banyak lagi lainnya. Parahnya, saat itu saya lagi di Jepang, dan saya nggak bisa kabur dari itu semua!! T___TOh iya, karena hal-hal yang saya rasakan itu juga, nasionalisme saya akan Indonesia tuh jadi benar-benar bangkit. Saya jadi benar-benar cinta mati sama Indonesia ketika saya ada di negara luar. Beneran deh, nggak ada artinya saya bisa bahasa Jepang dan tau kebudayaan Jepang, tapi gunung tertinggi di Indonesia tingginya berapa aja saya nggak tau. Saya juga nggak bisa lancar main angklung, nggak bisa bahasa daerah, dan banyak hal lainnya tentang Indonesia nggak bisa saya banggain ke mereka. Meskipun setiap ada kesempatan, saya selalu narsis dengan keindonesiaan saya. Ketika lihat laut Jepang yang hijau butek, saya jadi terbayang laut Indonesia yang biru dengan pasirnya yang putih. Ketika melihat festival di Jepang yang sama semua, saya jadi membayangkan betapa indahnya keanekaragaman kebudayaan di Indonesia. Betapa kayanya negeri saya.Itu sebabnya, ketika melihat karakter Jingga di novel "Infinitely Yours" ini, saya jadi merasa kesal setengah mati. Saya nggak bisa bersimpati dengan Jingga, yang umurnya nggak jauh beda dengan saya itu, dengan segala sifat kekanakan, sok tau, fanatik berlebihan, dan yang lebih parah, sifat nggak bisa membaca keadaannya! KY kalo kata orang Jepang.Alhamdulillah, meskipun dulu saya suka banget sama Jepang, tapi saya itu seorang fans yang kere dan pelit, yang nggak rela mengeluarkan uang dari kocek sendiri untuk hal-hal yang saya nilai nggak begitu berguna. Makanya, ketika teman-teman saya yang nge-fans sama Arashi atau NEWS atau Laruku sampai bela-belain beli dvd original idolanya, saya lebih milih untuk minjem aja xp. Logika saya, uang segitu bisa buat beli bakso bermangkok-mangkok, atau buat beli buku. Lha karena kekerean saya, dulu saya jarang beli buku, seringan minjem aja. HahahaaJadi, saya sih nggak mungkin melakukan tindakan seperti Jingga, pergi ke Korea dengan uang sendiri, demi ketemu idolanya!!! Ketika tahu dia ke Korea demi ketemu mas-mas-Korea-pemandu-wisata-yang-ganteng-setengah-mampus, saya langsung tidak respek dengan cewek ini. Apalagi dia dengan seenak jidat manggil lelaki yang baru dikenalnya dengan Om, padahal kalaupun dia menebak Rayan sebagai lelaki berusia 30-an, seorang perempuan berusia 25 tahun harusnya memanggil dia dengan mas saja. Meskipun ya, Orizuka menjelaskan sih kalau latar belakang keluarga dan pekerjaan Jingga yang membentuk sifatnya seperti yang sekarang ini. Tapi kok saya benar-benar merasa sifat kekanak-kanakan Jingga ini lebay banget ya? Kuugi aja yang ceria, supel, dan juga agak kekanak-kanakan nggak segini lebaynya. Aduh, maaf kalau saya jadi membanding-bandingkan. Setiap pengarang memang memiliki hak penuh untuk menggambarkan karakternya sendiri, jadi kalau karakter Jingga nggak sesuai dengan apa yang saya suka, ya berarti memang sayanya aja yang nggak suka... #lahJujur saja, saya menskip banyak sekali bagian, khususnya dari awal hingga separuh cerita. Saya nggak tahan dengan "kepolosan" Jingga yang benar-benar bikin saya kesal. Juga kecintaan berlebihannya sama segala hal berbau Korea. Suasananya, udaranya, makanannya, dsb. Saya aja ketika pertama kali makan makanan Jepang di Jepangnya langsung, ngerasa biasa aja. Nggak ada rasanya cooyyy!! Pun ketika makan sushi untuk pertama kali. Butuh adaptasi hingga akhirnya saya bisa menyukai makanan itu (tapi saya ini pemakan segala, jadi meskipun rasanya biasa aja, saya bisa menerimanya xD), dan baru ketika pulang ke Indonesia saya bisa merasakan kangen dengan makanan-makanan itu. Coba aja bayangkan! Makan nasi pake ubi coy!! Belum lagi telur dadar mereka yang pake gula dan madu sampe manisnyaa luar biasa... Jadi, saya merasa agak aneh dengan Jingga yang bisa begitu mudahnya menerima masakan Korea. Eh, tapi saya belum pernah makan masakan Korea yang asli sih, jadi nggak tau juga... Huehehee....Dari segi penceritaan, saya rasa gaya Orizuka bagus. Kata-katanya teratur, mengalir, dan juga enak dibaca. Hanya saja saya nggak habis pikir, bagaimana bisa suara Jingga (secempreng dan sekeras apapun itu) bisa sampai menembus dinding hotel berbintang lima dan terdengar oleh Rayan di kamar sebelahnya. It really didn't make sense to me. Begitupun dengan tour romantisme Korea mereka, yang saya baca dengan sangat nggak antusias. Soalnya, kok si Jingga ini jadi kelihatan murah banget ya? Segitu gampangnya nempel sama Rayan, melupakan tujuan utamanya datang ke Korea, dan bahkan melakukan hal-hal yang buat saya nggak masuk di akal!! Beli gembok cinta, t-shirt couple, dan nginep di love motel!! Yang terakhir seriusan nggak banget... -__________-Tapi, meskipun banyak hal yang nggak saya suka, saya cukup menikmati beberapa bagian setelah lewat dari setengah cerita. Nah lho, bingung kan? :D Saya cukup suka bagian ketika mereka numpang nginap di rumah orang Korea, dan Jingga terpaksa bohong ke orang-orang itu kalau mereka suami istri. Tapi setelah Jingga dan Rayan kembali ke turnya, lalu ketemu sama Yun Jae lagi, saya mulai skip, skip, skip lagi. Oh iya, bagian Rayan yang mulai jatuh cinta ke Jingga juga cukup manis dan bikin deg-degan... #eeeaaaKarakter Jingga di novel ini memang tipikal para fans Korea, dan fans-fans lainnya, yang hidup di dalam dunia khayalan mereka. Jadi, apa yang dilihat hanya indah-indahnya saja. Apalagi biasanya para penggemar cowok-cowok Korea ini banyak juga yang belum punya pacar dan selalu berdelusi untuk bisa pacaran bahkan nikah dengan idolanya (termasuk saya dulu dan juga teman-teman saya yang boy band freak). Entah karena lari dari kenyataan, atau kenapa... Jadi, apa yang dialami Jingga juga adalah impian bagi banyak orang. Menemukan cinta yang romantis, di negeri yang mereka cintai....Oh iya, sebenarnya fanatisme berlebihan Jingga cukup bisa diterima sih, karena dia datang ke Korea sebagai turis. Tentu berbeda dengan orang yang datang dan tinggal disana, yang mau tidak mau akan melihat banyak kecacatan baik di masyarakat, maupun di sisi lainnya.Dari tadi saya cerita Jingga melulu. Habis kalau buat saya, Rayan itu biasa saja. Karakternya ya udah standar cerita-cerita romens camnilah... Saya bingung dengan tokoh yang dua-duanya dibilang mirip orang Korea ini. Si Rayan dibilang mirip Kang Dong Won (aww!! saya demen sama Kang Dong Won, gara-gara "Maundy Thursday"!! #eeaaa), terus Jingga dibilang cocok jadi orang Korea juga. Saya jadi nggak bisa membayangkan muka mereka. Hehehee... Rayan ini dibilang dingin sama Jingga, nggak kayak cowok Korea. Weits! Padahal cowok Indonesia itu termasuk yang paling ramah dan hangat di dunia lhoo... #lebay Cowok Indonesia (yang lagi belajar atau tinggal di Jepang) aja tuh jadi inceran banyak cewek Jepang, karena mereka itu baik-baik, ramah-ramah, dan juga hangat. Tapi yang jelas, saya salut dengan sikap nasionalisme Rayan, terlepas karena dia lagi berhadapan dengan Jingga, atau karena dia memang benar-benar cinta Indonesia... :")Jadi, cukup dua bintang untuk karya Orizuka yang pertama kali saya baca ini. Kapok? Nggak juga. Saya masih penasaran sama "I For You" karena itu judul lagu Jepang yang saya suka bangett... Btw, sebenarnya saya biasanya menghindari baca teenlit, chicklit, atau apapun itu yang bau-bau romens macam ini. Dari dulu sampai sekarang, romens yang saya suka itu genrenya terbatas. Tapi, kali ini saya menantang diri saya untuk membaca cerita ini, dan hasilnya... maa... maa... alias biasa saja. Dari segi cerita, mungkin buku ini tidak mengangkat tema yang begitu spesial. Malahan mungkin agak klise dengan akhir yang sudah bisa ditebak. Dua orang yang berkepribadian berbeda bertemu kemudian seiring berjalanannya waktu dan semakin bertambahnya interaksi, perasaan sukapun mulai timbul. That simple.Tapi kesederhanaan itulah yang membuat saya suka pada buku ini. Penceritaan yang fokus, manis, dan ringan dengan jalan cerita too good to be true-nya yang konsisten, tidak membingungkan saya selama membacanya. Deskripsi settingan di Korea cukup membuat saya yang bukan seorang Korean freak, ikut terpesona dengan negara ginseng ini.
What do You think about Infinitely Yours (2011)?
suka dengan Jingga yang super ceriaaa, dan bisa membuat seorang Rayan jatuh cinta...:))
—kiki5n
baca buku ini berasa keliling korea deh.. is very good.,
—crissycareebear