ImageSaya dengan begitu yakin sempat berkata bahwa kuliner bubur ayam paling enak adalah yang mamang penjualnya berjualan di sekitar pasar tradisional. Di Bandung tempat saya tinggal, saya berani bertaruh jika di malam atau dini hari dalam keadaan lapar, cobalah cari gerobak-gerobak penjual bubur ayam di sekitar pasar-pasar tradisional dan rasakan kenikmatannya! Di Jakarta ada sebuah pasar yang mungkin popularitasnya telah melewati ratusan masa generasi muda. Saya sedang berbicara tentang Pasar Senen yang terakhir kali saya kunjungi penuh dengan kekhawatiran bakal kena copet atau jambret! Saya tidak yakin benar bahwa di sana pun berdiri penjual bubur ayam yang enak. Tapi selanjutnya saya tidak akan membicarakan bubur ayam, apalagi bubur ayam pake kacang (saya selalu minta tidak pakai kacang kalau beli bubur ayam karena namanya akan jadi bubur kacang).Rupanya pada sebuah generasi muda pasca kemerdekaan, sempat berkibar tinggi bendera kebudayaan di sebuah pasar yang awalnya bernama Pasar Snees dan hanya buka di hari Senin. Tetapi ini bukan bendera kebudayaan borjuistik yang anggotanya hobi berkumpul dalam gedung kesenian sambil menghisap cerutu dan pandai berbicara dalam bahasa Belanda. Bukan itu. Pada dekade 50-an daerah ini cukup dikenal sebagai lumbungnya para seniman nyentrik. Benar-benar yang mereka pikirkan saat berkumpul di Pasar Senen hanya seni, seni, seni, seni, kopi, seni, duit, seni, cewek, seni, dan hutang. Ada yang benar-benar mengabdikan diri kepada seni sebagai profesi, ada yang ingin menjadikan seni sebagai jalan hidup, ada yang hanya tahu berpakaian ala seniman tapi bingung ia berada di bidang kesenian yang mana, ada pula yang hanya asyik mengikuti kegiatan komunal di tempat-tempat keramat sekitar Pasar Senen dan mencatat perbincangan mereka. Misbach Yusa Biran adalah jenis seniman yang terakhir. Toh diperlukan seni mendengar, mencatat, menulis, dan mengingat yang baik agar dapat dijadikan kumpulan cerita di buku ini.Agar lebih meninggikan harkat dan posisi pentingnya dalam sejarah kebudayaan Indonesia, ada baiknya diketahui terlebih dahulu oleh para pembaca yang budiman bahwa komunitas seniman Pasar Senen-atau cukup disebut Seniman Senen- banyak melahirkan alumnus yang memiliki pengaruh besar di ranah kebudayaan. Selain Misbach Yusa Biran, Djamaludin Malik, Usmar Ismail, Soekarno M. Noer, dan Mak Wok yang sukses di bidang perfilman, ada pula Delsy Syamsumar yang sukses dalam seni lukis. Dan yang paling terkemuka adalah tuan Chairil Anwar di bidang reparasi seni kata yang menurut sassus sering berkeliaran di Pasar Senen juga. Baiklah, itu nama-nama beken Seniman Senen. Tapi sepertinya nama-nama tersebut tidak termasuk menarik bagi penulis. Baginya cerita-cerita sepele dari seniman-seniman anonim Pasar Senen-lah yang justru membuat ceritanya begitu hidup dan menggelora sebesar Gelora Bung Karno.Perkara minum kopi dan merokok saja sudah jadi bahan yang bikin pening kepala para seniman. Belum lagi segala intrik meminjam duit kepada kawan atau "nembak" langsung redaktur majalah agar upah karya tulis yang mereka kirim segera dicairkan saja.Dalam cerita-ceritanya ini akan terasa bahwa Misbach Yusa Biran tengah menertawakan perilaku sebuah kelompok, sebuah masa yang juga ia ikut masuk di dalamnya. Tertawaan yang romantik dan jikalau seniman-seniman itu masih hidup dan membaca ulang kisah-kisah di dalam buku ini saya yakin mereka akan tertawa puas seperti saat saya membaca sebagian besar cerita di dalamnya. Tetapi, bukan cerita-cerita Misbach Yusa Biran yang membuat para Seniman Senen ini menarik, melainkan perilaku para seniman itu sendiri yang membuatnya menjadi lucu, absurd, namun tidak menjadi cerita njelimet seperti Sameul Beckett atau Budi Darma. Tugas penulis hanyalah membuatnya menjadi enak dibaca saja, dan itulah kepandaian seni Bung Biran ini.Bagi pembaca yang senang dengan hal-hal bersifat "masa lalu", vintage, klasik, oldskool, atau apapunlah itu sebutannya, buku Keajaiban di Pasar Senen menjanjikan petualangan imajinasi yang mengesankan. Saat membacanya saya selalu membayangkan gaya berpakaian para seniman nyentrik ini. Rambut gondrong, kemeja berkerah sebesar atap gedung DPR, celana cutbray selebar lapangan parkir gedung DPR, gaya berbicara yang begitu flamboyan seperti para oposan anggota DPR, bahan pembicaraan yang begitu berat dan mengurat (juga seperti oposan DPR), optimisme setinggi gedung DPR, tetapi dekil minta ampun." 'Dan apa yang akan kau lakukan kalau dapat hadiah itu, Rusidi?' tanya Askar. Rusdi adalah seorang aktor, pemain drama, film, atau melawak, juga menari dan lain-lain.'Aku,' jawabnya tenang pakai gaya, 'yang paling pertama akan kulakukan dengan uang itu ialah... makan sepuas-puasnya dan minum. Sudah terang tiga puluh botol bir akan kuletakkan di atas meja dan kita minum bersama.' Semua kawan kontan tertawa seperti mereka sudah mulai mabuk. Senang benar semunya.'Tentu aku boleh turut minum, Rus?' tanya Tirta, seorang pemain drama juga.'Tentu, tentu,' jawab Rusti kontan, 'kalau kurang bir-nya kita tambah lagi. Minumlah sampai puas, atau jangan samasekali. Sudah itu, kita hitung bersama-sama sisa uang itu. Aku hanya butuh uang untuk beli dua celana dan dua baju. Lebihnya, lebihnya kita pakai untuk senang-senang. Puaskan hidup ini...!!!' kata Rusdi dalam gaya seorang aktor tulen, dan sekalian kawan-kawan jadi segar sekali mendengar penjelasannya.' " - Hadiah Rp6.724,52? (dalam Keajaiban di Pasar Senen 2008: 153-154)Setelah dihajar oleh cerita-cerita lucu dan absurd para Seniman Senen, pamungkas kumpulan cerpen inipun membuat saya tersenyum getir. The Glory Is Over adalah judul cerpen pamungkas Keajaiban di Pasar Senen. Sebuah ode bagi kejayaan masa lalu yang sepertinya tidak perlu dirayakan tetapi dikenang saja. Pada akhirnya bendera yang digerek setinggi langit di Pasar Senen oleh para seniman harus juga diturunkan, dilipat kembali, dan disimpan dalam lemari kenangan. Sesekali bolehlah bendera tersebut dikibarkan kembali dalam acara reuni akbar. Tetapi, the glory is over, Bung... #8 - 2014bahwa ungkapan buku berjodoh dengan pembacanya itu sepertinya berlaku pada buku Tuan Biran ini dengan saya. buku ini saya dapatkan di bazaar toko buku di Bintaro Plasa dengan harga sepuluhribu rupiah saja, setelah tiga kali bolak-balik mengunjungi bazaar itu selama tiga sabtu berturut-turut, pada sabtu yang ketiga, buku ini sepertinya mendesak tangan saya untuk membawanya ke meja kasir, setelah pada dua sabtu sebelumnya saya abaikan karena saya lebih tertarik pada buku-buku yang lain.dan ternyata buku benar-benar berjodoh dengan saya, karena saya benar-benar suka saat membacanya. saya bisa turut larut ke dalamnya. Pasar Senen dan seluruh keajaibannya di tahun enampuluhan seperti tergambar langsung di depan mata saya. ah... Tuan Biran ini begitu pandai meramu cerita dan seperti menghadirkannya langsung di hadapan pembacanya. Indonesia harus bangga pernah memiliki Tuan Biran. saya juga.
What do You think about Keajaiban Di Pasar Senen (1971)?