(Kemungkinan besar bakalan jadi)MY 2015 BEST BOOK OF THE YEARBaru kali ini gw berharap dan berdoa dalam hati saat membaca sebuah buku. Terutama bab yg menceritakan tentang Hasari Pal, mantan petani dari desa Bengkuli, Benggala Barat, yg terpaksa hijrah ke Calcutta karena sudah tidak memiliki apa-apa di desa. Tiap memulai bab dengan tokoh Hasari ini, gw selalu berharap agar bab tersebut berakhir dengan kebahagiaan untuknya dan berdoa agar penderitaannya nggak makin bertambah. Ternyata, kebanyakan nggak terkabul. Hasari Pal yg datang ke Calcutta dengan membawa setumpuk harapan untuk memperbaiki kehidupannya, malah terperosok semakin dalam pada kemiskinan yg diciptakan kota besar tersebut. Untungnya, selalu ada cahaya meski dalam kegelapan sepekat apapun. Dalam perjuangannya menjadi "Manusia Kuda" atau penarik angkong (semacam rickshaw, becak tapi ditarik dengan tenaga manusia), banyak bantuan tak terduga yg diterima Hasari. Penderitaan itu agung, tetapi manusia tetap lebih agung dari penderitaan [Tagore]Selain Hasari, tokoh utama buku ini adalah seorang pastor Polandia bernama Stephan Kovalski, yg sengaja tinggal di Negeri Bahagia dalam rangka menemukan kedamaian dan Tuhan dalam penderitaan kaum papa. Salut dengan ketabahan hati beliau karena selain shock karena akibat kemiskinan itu sendiri, birokrasi dan hukum rimba di negeri itu sendiri bisa bikin manusia manapun mengalami emosi jiwa level: semilyar. Misalnya, saat Kovalski butuh vaksin khusus yg dipesan dari Inggris untuk penderita lepra, beliau ternyata masih harus berurusan dengan petugas kantor pos lelet dan manajemen amburadul, sehingga setelah ngurusin dokumen dan tetek bengek hingga berminggu-minggu, vaksin tersebut harus diterima dalam kondisi sudah kadaluwarsa (asli sumpah, pas baca bagian ini gw pengen ngemplang si petugas pake sandal kulit).Namun, itu masih belum apa-apa. Himpitan kemiskinan mampu membuat orang-orang yg terjebak di dalamnya melakukan hal-hal yg nggak pernah terbayang, mulai mengorek sampah untuk mencari sisa makanan, menjual janin hingga menjual kerangkanya sendiri saat dirasa usia tak lagi panjang. Mainan paling utama, permainan yg mengatasi segala permainan, dan yg membuat baik anak-anak maupun orang dewasa begitu antusias, yg menimbulkan pertandingan, persaingan dan konflik, yg menampung semua mimpi akan kebebasan dan pelabuhan pelarian bagi orang-orang yg terpenjara ini adalah mainan yg terbuat dari kayu sederhana, kertas dan benang [hal. 588]Negeri Bahagia nggak melulu menawarkan kesedihan dan nestapa. Dalam cengkeraman kondisi yg seperti itu, para penduduknya masih mampu bersenang-senang untuk sedikit melupakan masalahnya. Mulai sekedar minum bangla bersama-sama, bermain layang-layang, menonton pertunjukan Ramayana, upacara kelahiran bayi hingga habis-habisan mengadakan pesta pernikahan yg hingar bingar. Manusia dengan berbagai agama hingga berbagai macam kondisi (terutama kaum lepra dan kaum sida-sida) akan berbaur dan melupakan perbedaan untuk sementara waktu. Diberkatilah engkau, Calcutta, karena dari kebusukanmu telah engkau lahirkan orang-orang suci [hal. 370]Buku ini merupakan hasil riset Dominique Lapierre setelah selama dua tahun tinggal dalam lingkungan kumuh Calcutta. Berkat buku ini, kondisi Negeri Bahagia saat ini sudah jauh memadai (diungkapkan Monsieur Lapierre dalam Kata Penutup buku ini). Berkat buku ini pula, banyak orang berbondong-bondong memberikan bantuan baik secara materi maupun fisik, mulai orang biasa hingga Paus John Paul II!!Review ini hanya segelintir kisah dalam buku ini. Gw gak akan bisa menjabarkan semua kegigihan, semangat dan perjuangan para penduduk Negeri Bahagia. Buku yg sangat-sangat-sangat bagus! Sangat recommended!
puntuación: 3.5Entiendo que éste libro sea un "best seller", pues la historia es muy intensa y entretenida* a pesar del volumen de páginas. La documentación que exhibe el escritor sobre la India (su cultura, religiones, ritos, nombres, costumbres...) es sencillamente abrumadora.La historia cuenta básicamente la vida en un "slum" de Calcuta (una especie de barriada de chavolas), donde un cura francés se instala para ayudar a los pobres, a la vez se nos cuenta la historia de un Indio que es conductor de ricksaws (carros con ruedas tirados por un hombre) y que malvive con su familia en las calles.Lo mejor del libro, en mi opinión, es sin duda el alarde que hace el autor sobre la documentación de la vida en la India. La historia tampoco deja indiferente: es dura y emotiva, muestra sin tapujos la pobreza extrema que atenaza a muchos seres humanos en el mundo.*Aunque, con todo lo anteriormente descrito, debo decir que la parte final de la novela se hace tediosa: a veces llegan a resultar repetitivas las descripciones, los desastres que se van sucediendo se narran de forma muy similar, y sobre todo, lo que menos me gustó fue la tendencia a exagerar: al principio impactaba, pero cuando lees una y otra vez "en ningún lugar del mundo es tan --- como en la India" llega a cansar (como ejemplo que me viene a la cabeza: cita las "temperaturas extremadamente bajas en invierno que causan estragos inimaginables", unas temperaturas mínimas de... +9 grados Cº en invierno).Literariamente el libro no aporta nada nuevo, es un relato lineal que se limita a contar las dos historias ya mencionadas, la historia no deja nada a la imaginación y apenas algo a la reflexión (cosa que puede estar bien o mal según la lectura que se esté buscando).En definitiva, un best seller en toda regla, de lectura entretenida, sencilla y amena, pero nada más.
What do You think about La Ciudad De La Alegría (2004)?
The City of Joy by Dominique Lapierre emulates a story of the life of the poor inhabitants in the heart of India, also known as Calcutta or The City of Joy. The story mainly revolves around two main characters, Stephan Kovalski and Hasari Pal. Stephan Kovalski was a Catholic priest who lived in the slums of Calcutta along with Hasari Pal, an Indian farmer who came to Calcutta with his wife and children in the hopes of finding a source of income to support his family. Along the way, the two meet and become well acquainted. Kovalski’s positive influence and a simple belief to never lose hope in times of struggle deepened his bond with Hasari and the rest of the poor residents in the area, which led them to treating Kovalski with utmost respect. As the story progresses, the community continues to support each other through thick and thin, despite their daily struggles regarding a lack of money, food, proper shelter, medical attention, clothing, etc. Not only did this book shed light on the distinctive culture and poverty life of India, but it also showed how sincere and humane the people were through their perseverance and sense of companionship.
—Manaal Siddique
One of the most significant spiritual experience of my life has happened around this book. I had moved to Mumbai. Loneliness and depression were my accompanying emotions- 24*7. During those days, I didn't use to have money and I used to travel by buses. I was reading this book on the bus. The conductor gave me the ticket. He asked me how did I find the book? Now, this is not a title you expect to be read by the bus conductor. But he told me he has read the book. He started talking with me about this book. I literally felt that there is someone out there who look out for each and every soul. I felt the connection with universe which is difficult to express in words.
—Kirtida Gautam
India...Selalu menarik dijadikan latar belakang cerita. Sarat dengan beragam budayanya yang unik. Sebut saja Interpreter of Maladies, God of the Small things, Rumah untuk tuan Biswas, Namesake, dll. Ditambah lagi buku yang satu ini.Membaca buku ini termasuk menguras emosi, ada saat kita merasa ikut terharu, miris, marah, jijik, gemas, dan takjub.Dari buku ini kita juga bisa belajar lebih banyak tentang makna 'joy'/bahagia. Bahwa kebahagiaan bisa muncul dan ada di mana saja. Termasuk di Calcuta, di perumahan yang kumuh sekali, di mana 1 rumah petak berukuran 3x3 m bisa dihuni sampai 8 orang, bahkan di antara org2 yang tidak punya rumah, tinggal di emperan, atau juga di antara orang-orang kusta yang sebagian anggota tubuhnnya sudah rusak/hilang karena membusuk.Orang2 yang dipandang miskin di sini ternyata jauh lebih kaya, karena mereka selalu rela berbagi dari apa yg mereka miliki sekarang. Punya pisang 5, pisangnya dibagi ke tetangganya yang ga punya apa2 untuk dimakan. Mereka ga berpikir untuk menyimpan untuk besok, mereka juga ga mengkhawatirkan hari esok. Kekhawatiran mereka yah hanya hari ini.Jadi ingat ayat Alkitab di Matius 6:(34) 'Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.'Tragisnya di sisi lain, meskipun dengan kemiskinan seperti itu, makan cuma 1 kali sehari, kerja cuma menarik angkong (sejenis becak di India), mereka tidak luput dari adat istiadat yang 'mencekik'. Di antaranya keharusan membayar mahar untuk menantu pria, membuat pesta perkawinan dll. Bahkan untuk meminta didoakan pun harus punya duit. Orang2 miskin di Calcuta bahkan mudah sekali untuk mengadopsi tetangganya, padahal memenuhi kebutuhan keluarga yang ada saja mereka sudah tidak sanggup. Uugh...membuat reviewnya aja menguras emosi. He3x..
—Margareth