Share for friends:

Read Love Story (2012)

Love Story (2012)

Online Book

Author
Series
Rating
3.58 of 5 Votes: 1
Your rating
ISBN
0380017601 (ISBN13: 9780380017607)
Language
English
Publisher
avon

Love Story (2012) - Plot & Excerpts

Gegara dibahas di twitter baru nyadar klo gw belum nge-rate buku ini.Ceritanya sih bagus, tapi bikin sakit hati dan ogaaahhhh buat baca ulang.Sakit hatinya kebawa ampe sekarang. Ngeliat nama Oliver aja masih suka sedih. Liat bentuknya Harpard sedih lagi (norak deh :p). Dan liat nama yg ketulisnya "Erich" bikin sewot karena jadi ingat si Mr. Segal ini :))Padahal bacanya udah belasan tahun lalu, nonton filmnya juga udah lama. Tapi sakit hatinya ninggal ampe sekarang.Makanya salut deh sama orang yang udah baca novel ini ampe 10x padahal tiap kali baca dia mewek.Pasti dia masochist :s *pasang muka lempeng*EDITED 15/12/12(view spoiler)[Terkeplaklah multiply karena menutup fasilitas blognya dan three karena lemot amat bikin saya susah bikin blog baru serta blogspot yang dengan bangkenya memblok blog curhat saya. Hiks....Meuni tegaaa.Desember...dengan suasana liburannya serta aroma sejuk dan muramnya selalu berhasil menarik keluar memori lama. Termasuk yang ini :Logan International Airport, Boston - Feb 2009Setelah beres urusan imigrasi, saya langsung melangkahkan kaki mengarah ke pintu keluar sambil (berusaha) menghindari antrian orang-orang yang menunggu bagasi. Berbeda dengan biasanya, kali ini saya tak membawa satu potong bagasi pun.Tapi kedatangan kali ini juga berbeda dengan biasanya kok.Biasanya saya ke sini untuk tinggal dalam jangka waktu lama, namun kali ini hanya 3 hari.Biasanya saya ke sini dengan perasaan gembira, namun kali ini dengan rasa pedih.Biasanya saya ke sini untuk mengunjungi Rizal dan membuat memori baru namun kali ini untuk menutup kisah dan menghapus jejak kenangan.Dan yang paling terasa : biasanya Rizal yang menjemput saya di bandara, namun kali ini saya dijemput Rifqi.Setelah berbagi pelukan singkat dengan Ifqi, kami langsung menuju ke mobilnya. "Wi, besok pagi aja ya ke kampus. Sekarang ke rumah dulu. Nana kangen sama loe," katanya.Saya langsung menyetujui. Selain karena masih lelah setelah penerbangan panjang selama 30 jam lebih, saya juga merasa belum siap untuk bertemu kampusnya Rizal.Kampus?Yup...kedatangan saya ke Boston ini memang untuk membereskan barang-barang Rizal yang masih tertinggal di kampusnya.Semestinya ini menjadi tugas keluarganya Rizal, namun Abi menawarkan pada saya untuk mewakili beliau. Abi paham bahwa saya perlu mengunjungi kota ini sekali lagi. Untuk nostalgia dan juga pamitan pada kota tua yang masih cantik ini walo sebenarnya ada rasa nyeri di dada kiri yang timbul ketika saya pertama melihat kota ini dari atas pesawat tadi.Esok paginya...Setelah beristirahat semalaman dan menempuh perjalanan singkat ke Cambridge, sampailah kami di kampus itu.Iya, kampus itu. Kampus tua cantik dengan 5 gedung marmer putihnya yang terkenal dengan sebutan "Great White Quadrangle"nya. Kampus kedua yang paling sering saya datangi. Kampus yang merekam masa-masa bahagia saya.Tadinya, saya berencana jalan kaki dari pintu depan hingga ke Vanderbilt (tujuan pertama saya). Tapi rasa nyeri di dada kiri yang semakin bertambah membuat saya membatalkan rencana itu dan memilih naik mobil bareng Ifqi sampai ke asrama.Di asrama, Charlie sudah menanti saya. Agak surprise juga melihat dia. Dilihat dari waktu itu yang masih pagi, semestinya dia masih di kampus. Rupanya, dia sengaja gak masuk demi menemani saya.Charlie mengajak saya ke kamarnya. Berhubung kamar Rizal harus segera dikosongkan karena mau dipake orang lain, maka Charlie membereskan semua barang Rizal dan menyimpannya di kamarnya sendiri.Charlie sudah mengepak barang-barang Rizal dengan rapi dalam kardus. Dan semestinya saya tinggal mengangkat kardus itu.Tapi dasar saya masochist >.< , saya malah sengaja membuka kardus itu dan mengecek satu persatu barang-barang milik Rizal. Ada bola basket dengan tanda tangan Michael Jordan yang sangat dia banggakan itu, ada jam weker doraemon yang bunyinya berisik banget dan berpotensi bikin semua orang dalam radius 5 meter kena serangan jantung, ada sepatu bola, kaos-kaos lusuh yang katanya adem buat dipake tidur, koleksi lengkap CD Beatles yang selalu dipamerkannya kemana-mana, sejumlah kertas dan buku dan...ah sudahlah...diteruskan lagi bisa mewek saya :').Setelah rapi mengatur kardus-kardus itu di mobil, kini saya menuju ke kampusnya. Tepatnya ke ruang kerja. Kalo di sini, semua barang Rizal masih dibiarkan di posisi semula. Charlie sudah menyediakan kardus-kardus kosong buat modal saya mengepak.Sambil menyetel Ipod milik Rizal yang ditinggalkannya disitu, saya memulai proses pengepakan itu. I was a quick-wit boy, diving too deep for coinsAll of your street light eyeswide on my plastic toys Yang pertama masuk kardus jelas kertas dan buku-buku yang bejibun itu. Pahit rasanya melihat semua catatan yang dibuatnya. Karena saya teringat lagi dengan semua mimpi dan cita-citanya yang kini harus kandas.Lalu stationery yang gantian masuk kardus, disusul plakat nama Rizal, globe, kursi putar (okeh! ampe sini emang boong), semua alat-alat penelitiannya, coffee set dan mugnya. Ah pokoknya semualah.Sementara lagu masih terus mengalun, dan rasa sakit di dada kiri kian menjadi.Then when the cops closed the fair,I cut my long baby hair Stole me a dog-eared map and called for you everywhere Seharusnya sih setelah beres packing, beres juga urusan saya di kampus itu. Tapi saya pengen banget keliling-keliling di kampus itu (mungkin) untuk yang terakhir kali (He-eh. Memang masochist kok ;p).Saya bahkan meminta Ifqi menunggu di depan gerbang saja karena saya berencana jalan kaki ke gerbang setelah tour ini berakhir.Ditemani Charlie, saya pun memulai tur singkat namun pahit itu di tengah cuaca Boston yang masih menyisakan aroma musim dingin.Mulai dari Gordon Hall yang sering mejeng di film-film itu. Berlanjut ke C Library yang keren mampus dan sering jadi tempat saya terkantuk-kantuk menunggui Rizal yang sedang belajar di sana. Menengok ruang kelas luas banget yang selalu bikin saya kagum itu dilanjutkan ke building lain. Semuanya keren, semuanya berwarna putih(ato kelabu?) dan semuanya menambah nyeri di dada kiri.Lalu balik ke Vanderbilt, tempat yang paling penuh memori (btw di saat itu saya baru nyadar, ini tournya kok muter-muter sih? Gak praktis. Begitulah kalo lagi kusut).Menengok Common Room, dapur (iseng amat ya nengok ke dapur. Tapi hey...disini indomie asli Indonesia itu selalu jadi rebutan penghuni lain ), dan yang paling lama saya nikmati : Lapangan Basket indoor-nya. Di jam segitu, area itu masih kosong. Tapi saya bisa dengan jelas menghidupkan kembali semua memori disana : jam-jam yang saya habiskan dengan menonton Rizal latihan, juga sorak sorai saya kalo Rizal lagi tanding iseng dengan teman-temannya. Saya bahkan masih mengingat suara decit sepatu yang beradu dengan lantai kayu dan suara bola yang memantul. Semua memori itu kembali dan makin membangkitkan nyeri di dada kiri.Dan mungkin saya memang masochist sejati (ato cuma mellow?) karena saya masih kekeuh meneruskan tour pribadi itu ke lapangan rumput di HMS Quad itu.Tiap kali melihat lapangan rumput yang rapi itu, saya selalu kagum pada para tukang kebun yang niat banget menjaga kebersihan dan kerapihannya. Di lapangan itu, Rizal dan teman-temannya suka ngumpul untuk belajar atau berdebat.Di lapangan itu, saya biasa membawa bekal yang sudah saya siapkan dari rumah Nana dan kami bakal piknik ngumpet-ngumpet disana.Di lapangan itu, saya menikmati kedamaian kecil seperti membaca buku favorit ditemani angin sepoi-sepoi sementara Rizal asyik membaca bukunya sendiri di sebelah saya.Di lapangan itu, rasanya kami aman terlindungi dalam dunia kami.Dan pada lapangan itu, sungguh saya mengharap waktu membeku disana.Sampai disini, saya sudah gak tahan.Rasa sakit di dada kiri makin bertambah. Sakit menusuk dan kini ditambah rasa sesak dan berat di dada.Maka saya pun mengajak Charlie untuk jalan menuju ke mobil.Sepanjang jalan, saya melihat sekeliling. Pohon tua yang besar namun sedang meranggas itu, batu-batu kelabu itu, rumput hijau itu, pemandangan orang-orang yang sibuk lalu lalang. Saya berusaha merekam semua pemandangan dan semua suasana. Merekam dan menyimpannya di kotak hitam kenangan."You sure wanna go home now? Let's have some eat at the Faculty Club," ajak Charlie tiba-tiba."Sorry, no time. Got a plane to catch. And I still have to pack all his things in my luggage," tolak saya."So...this is it, then? It's maybe your last time in here. C'mon. You have to come to Club for one last time.Saya menggeleng sambil terus berjalan. Walaupun tawaran makan di Club memang sangat menggoda, tapi saya gak pengen menambah rasa nyeri di dada kiri itu.Mendekati pintu keluar, saya menyadari ada beberapa orang yang berkerumun di depan sana. Sayang, karena gak pake kacamata, saya gak langsung ngeh siapa mereka.Baru setelah dekat saya sadar, ternyata itu adalah Tay, Alan, Ravi, Cindy, Jay, pendeknya semua teman Rizal disana. Mereka datang untuk menyapa saya, memberi pelukan sekaligus mengucapkan "final goodbye" mereka ke Rizal (yang ceritanya diwakilkan oleh saya).Pelukan terlama dan paling berkesan tentu dari Jay.Ah jadi ingat. Saya sempat jealous berat sama cewek ini karena Rizal. Bodoh tentu. Karena tak satu pun dari kami yang akhirnya mendapatkan cowok itu. "Call me if anything, Wi. Or even call me if nothing. Do come here again," adalah pesan Jay pada saya.Dan begitulah...Diiringi pelukan dan salam dari rekan-rekan Rizal, saya pun naik ke mobil bersama Ifqi. Dan (mungkin) untuk terakhir kalinya, saya menengok dan menatap gedung megah bermarmer putih itu.Bye-bye Boston. Sepertinya saya gak akan balik ke sini dalam jangka waktu lama.Bye-bye Harvard Medical School. Mungkin jodoh kita memang cuma sampai disini. Tapi terima kasih telah memberi satu mimpi pada seorang Rizal dan memberi saya kenangan manis karenanya. Dan terutama terima kasih karena pernah memberi kami "rumah".Have I found you?Flightless bird, jealous, weepingOr lost you?American mouthBig pill looming (hide spoiler)]

Veamos...Ok, lo confieso: Soy una prejuiciosa...Hace unos días unos amigos... conocedores de que ni los chocolates ni helados pueden conmigo mas que los libros... me regalaron un libro!!!... imaginarán, me brillaban los ojitos---> ... aún así y porque, que lo sepan; una Yess malvada habita dentro de mí, esta so bruja me decía: jooo que es que no pudieron comprarte un libro con un tiutlo menos rosa? un poquito mas gordo?? y algo mas actual???Ladies and Gentlemen... que bruja ha sido mi Yess mala. Tanto así que la Yess buena se ha revelao y le ha soltado tres sopapos para que se lo piense a la otra.Love story, es de lejos una novela rosa... es cortito eso sí, pero eso sería un plus para el autor porque no puedo mas que admirar tanto talento para sintetizar semejante historia. Actual? Ok, este libro fue editado en 1970... pero aún así es un tema muy actual.Hay historias conmovedoras... otras tristes... algunas melodramaticas... estan las lacrimogenas... y esta ésta. Para aquellas tias (y tios) que suelen soltar los mocos apenas ven volar la mosca... agárrense, este libro no es para corazones "sensibles"... o tal vez es justo para ellos, depende segun se mire.La historia es muy simple y ya conocida, chico bueno y popular conoce a chica pobre, muy desenvuelta y eso sí, muy pero que muy inteligente...se conocen, ella no se la pone facil... el la lucha...y se hacen novios... a pesar de la familia de él... ellos siguen adelante y porque se aman deciden pasar su vida juntos... PEEERO que si uno de ellos debe morir? que si, aun cuando tienes todo planeado el destino/suerte/vida te desbarata todos tus planes???El estilo de Segal es de lo mas refrescante, los dialogos surgen con facilidad, sus personajes parecen cobrar vida y te llegas a "meter" tanto en la historia que te ves ahí mismo, sufriendo con Oliver o llenandote de la fuerza sobrecogedora de Jeniffer.Un libro que se lee en un par de horas como mucho, con una carga emocional realmente fuerte... perder a alguien que ames. Un libro que si bien te arrancara alguna lagrima te hara soltar muchas carcajadas con sus dialogos entretenidos, por la conmovedora historia y porque te enseña (o te recuerda) que hay mucho, muchos tipos de amores, que no todo en este mundo tiene un final feliz y que el dinero nunca comprara la felicidad.En fin, un libro que en lo personal me ha tocado... y que estoy segura de que aun cuando no hayan perdido a ningun ser amado les hará reflexionar de que la vida es corta, que debemos decirles a quienes amamos, eso; que les amamos, que seguro recomiendo leer... y que se hasta que no lea nada mejor, sera mi preferido del género.Aaah! hay una frase del libro, que me ha encantado, y que a las primeras de cambio lo interpreté mal, pero que luego entendi, es:"Amar significa nunca tener que decir que lo sientes".Hasta la proxima reseña ;)Yess

What do You think about Love Story (2012)?

My rating: 2 of 5 starsSource: Library Checkout*I plan to discuss parts of this book in detail so spoilers!*Oliver Barett IV is a rich jock from a well-to-do family. Jenny Cavilleri is a poor, wise ass sorta chick. This is definitely a case of opposites attract with a touch of Romeo and Juliet syndrome; they were destined to fail from the beginning. But they meet; they fall in love, etc. etc. And as the summary so eloquently puts it: “…sharing a love that defies everything yet will end too soon.” “What can you say about a twenty-five-year-old girl who died?”That is the very first line of the book so right off the bat you know you’re in for an emotional tale. But that’s the funny thing... it all seemed very impassive to me. Vapid. Insipid. And that’s the furthest from what I was expecting to feel from such a renowned and supposed emotional tale. The thing that really bothered me the most about this story was I never fully believed those two actually loved each other; it felt far too contrived. Oliver’s father’s declaration that he is NOT to marry Jenny otherwise he would basically disown him seemed like the catalyst for Oliver’s proposal and nothing more. To me, it wasn’t a proposal that was emotionally charged but rather a petty attempt to do the opposite of what daddy tells him just because he can.“Love means never having to say you're sorry.”Of course I had to include/discuss the most famous line of the book since I don’t quite agree with it. I think love means you’re more likely to be forgiven but I don’t think that should excuse you completely from an apology. But if love means never having to say you’re sorry, then that would mean that any future actions are automatically forgiven and following that same vein means you could do whatever you want because it’s okay, he/she loves me. Honestly, we all fuck up at one point or another in relationships because this shit is no cake walk but love doesn’t automatically excuse you from wrong. Love means you can fuck up, you can apologize, you can talk about it if need be and you can behave like mature adults and grow and learn from the experience. Love means never having to say you’re sorry? No. That’s a total cop out. There was also a ton of cussing, which I don’t have issue with considering I cuss like a sailor, but the dialogue sounded like a 6th grader trying to include cuss words in their everyday speech and ends up overdoing it. It was very forced and awkward feeling. Oliver and Jenny even replaced cute nicknames for cuss words as well. At one point he casually referred to Jenny as “my wife, the bitch” and I think he frequently called him a bastard. Or an asshole. Possibly both? I can accept that they obviously had a ‘different’ sorta love for each other and that’s just how they expressed themselves but it was very off-putting. The other issue I had was with the doctor and Oliver’s decision not to tell Jenny of her own illness, but I realize since this book is 43 years old there are customs that occurred then that I’d never be able to fully grasp and understand.Erich Segal was the Nicholas Sparks of his era with his tales of epic love. He’s not known for his literary masterpieces but he was a prominent name a few decades back and it was just one of those that I had to try out for myself. Plus, I was told that this book would absolutely make me cry (which books don’t make me do often) so I had to accept that challenge. I won by the way. Will I try more of his works? Maybe. Sappy tales aren’t normally my thing but every once in a while when I’m dealing with a chemical imbalance in my brain it makes me want to pick up this kind of stuff, so maybe someday. Have you read Love Story or any other novels by Segal? If so, are there any you would recommend?
—Bonnie

4.5/5.0 “I was afraid of being rejected, yes. I was also afraid of being accepted for the wrong reasons.”Love Story is a lovely and timeless romance novel. A rich-boy-meets-poor-girl tale, not one you haven't heard before, but it has a certain charm that's undeniable.It began that fateful day when Harvard senior Oliver Barrett IV, just minding his own life, crossed paths with a 'bespectacled mouse type' Radcliffe student, Jennifer Cavilleri, who's just minding hers. Appearances do deceive, as harmless-looking Jenny proved to be more than Ollie bargained for. It was an instant clash between two opposites but, it's how they first met that made their story special. You can just imagine how a confident, high achiever like Ollie would respond to a bombard of insults from an opinionated, average-looking girl. Naturally, he felt a need to impress and prove his merit and thereby initiating their rendezvous. Turns out, he's met his match too.Despite being a fast-read, this story is a heavyweight. The main characters are candid, bitingly witty but overall, endearing. The writing is cool and smart without trying too hard. This is a really good book. Great stuff, Erich Segal. I highly recommend!
—Weng

If 70's writers were teen celebrities, Erich Segal would have been Bobby Sherman or, to use a more contemporary analogy, Justin Beiber. But there is no analogy or scale on earth that would describe how bad this novel is. After reading Love Story in the 70s, I had to go to the bathroom to purge myself. A regular diet of this crap would cause literary bulimia. The movie didn't fare any better having caused me to endure a lifetime hatred of both Ali McGraw and Ryan O'Neal. You have been warned. If you are unfortunate to read this book, I recommend that you immediately read Gone Girl as an antidote. Or if you see the movie, a Nora Ephron film marathon should work.
—Marvin

Write Review

(Review will shown on site after approval)

Read books by author Erich Segal

Read books in series Love Story

Read books in category Food & Cookbooks