OH MY GAWD. This book. THIS book. To be honest, I wasn't really pleased with this book in the beginning. Cally Taylor's idea for the theme of this books is fantastic, BUT; it lacks description, the characters weren't describe properly and the dialogue was a little bit poorly. BUT! The emotions, oh God, the emotions. I feel in love with the end and I was sooooo worried and sad when at first I thought (spoiler alert!) Anna will take over Dan and Lucy will be so graceful to leave him to be happy with her and the end just made my emotions go BOOM. Brilliant. So I think it fairly deserves 4 stars. :) Diracik dengan sedikit humor, tapi sayang sepertinya 'it's not my cup of tea', tidak beropini bahwa ini buku yang buruk. Hanya saja bukan tipe yang terbiasa gue konsumsi. Dibuka dengan sebuah adegan romantis, khas drama-drama barat yang menceritakan kehidupan metropolis. Lucy Brown berspekulasi terlalu jauh tentang keadaan tubuhnya. Apa dia memiliki tumor? Lalu bagaimana dengan penyakit komplikasi yang lain?Esok adalah hari pertunangannya dengan Dan, cowok yang di matanya dianggap sempurna. Rumah, perkerjaan, kekasih tampan yang mencintainya dengan sepenuh hati. Lucy Brown memiliki semua itu, hingga senja sebelum hari pernikahannya ia tergelincir dengan handuk mandi lantaran ingin menggapai sesuatu di loteng atas. Itu jelas kematian yang tragis nan konyol bagi sang calon mempelai. Lucy Brown tak lantas terangkat ke surga. Lengkap dengan sepasang sayap dan buaian lira mungil. Angan itu tak lebih dari anekdot payah, nyatanya ia disambut oleh Bob--sepupu Peter. Dan siap memberikannya dua pilihan: Lucy dapat kembali kepada wujudnya yang semula atau menjadi hantu yang bergentayangan apabila ia gagal menyelesaikan misi krusial dalam 21 hari. Dua puluh satu hari bukan hari pekan yang panjang. Lucy ditempatkan dalam sebuah kondominium Calon Hantu, berkerabat dengan Brian dan Claire. Ketiganya memiliki tugas yang berbeda. Brian, pria berkumis itu harus merayu seorang remaja kikuk agar mengakui kegemarannya pada lokomotif kereta api. Sedangkan Claire, si gendut jalang malah terbuai dengan Keith Krank--salah satu pentolan band alternatif di bar lokal. Lucy sendiri tak lepas dari sebuah tanggung jawab yang menitikberatkan pada perjodohan. Targetnya bernama Archibald Humphrey-Smythe. Teknomania akut, seorang maniak Star Wars, dan tak pernah memedulikan kisah cintanya yang terlampau dramatis.Lucy berusaha memutar otak, memikirkan siasat cerdik bagaimana mendekatkan Archie (sebagaimana ia memanggil Archibald)dengan seorang wanita. Namun, tanpa ia ketahui Archie malah menaruh perasaan atasnya lantaran perhatian Lucy yang terlampau berlebih. Hal itu jelas tak boleh terjadi, namun di sisi lain Lucy pun dibuat geram dengan kedekatan Anna (sahabatnya) yang diam-diam menaruh perasaan pada Dan, tuangan yang tengah diperjuangkannya.Heaven Can Wait memiliki pencitraan karakter yang kuat. Dari segi pendeskripsiannya, Lucy bisa dikategorikan sebagai wanita yang ideal. Namun, sayang di beberapa adegan ia digambarkan tidak seperti wanita dewasa. Terkadang kekanak-kanakan dan sangat jomplang dengan statusnya yang sudah memiliki pekerjaan. Dan untuk beberapa karakter pendukung lainnya, Claire bisa sangat diacungi jempol. Ia digambarkan amat tidak biasa. Bisa menjadi motivasi untuk wanita yang minder terhadap perawakannya, namun dengan bantuan peran seorang berandal macam Keith Krank, sisi kepercayaan dirinya justru muncul tanpa disadari. Banyak hal-hal renik yang sebenarnya bisa menjadi poin plus, ditambah dengan gaya bercerita Cally Taylor, Heaven Can Wait benar-benar tepat menjadi teman minum kopi atau bersantai di tengah senja. Temanya ringan, membuai pembaca untuk ikut berimajinasi membahas kebijakan-kebijakan legislatif dunia akhirat, ditambah dengan karakter Bob yang dibuat konyol. Heaven Can Wait bisa dibilang cukup menghibur.