Life's Golden Ticket: An Inspirational Novel (2007) - Plot & Excerpts
Ada masa-masa dimana saat kita menyerahkan hidup kita sepenuhnya kepada Tuhan, Tuhan justru membalikkan semua, segala hal yang kita tahu, kita kenal, dan kita pikir pernah ada di dalam jangkauan tangan kita. Lalu hidup kita tidak pernah lagi sama.Dan itu terjadi pada gue.Hidup yang gue sangka akan baik-baik saja, berjalan sempurna seperti yang gue inginkan, mimpi yang pernah dirajut pelan-pelan, direnggut paksa melalui cara-cara yang tidak pernah gue duga sebelumnya.Lalu gelombang rasa sakit menghantam. Jutaan pertanyaan menusuk-nusuk kepala gue, ngga membiarkan gue melewati malam dengan tenang, bahkan untuk sekedar merebahkan badan sambil bernapas pelan-pelan. Duri itu ada dimana-mana, bahkan terasa menembus paru-paru sehingga menarik napaspun rasanya seperti tercekik perlahan-lahan. Bisa terlelap itu berkah yang tak lama kemudian menjadi musibah. Karena rasa perih itu bahkan muncul di dalam mimpi.Apakah ini yang namanya setengah mati? Bernapas saja sudah begini menyakitkan. Luka macam apa yang tertinggal ini? Kegelapan di dalam kamar menyergap bersamaan dengan rasa nyeri yang bahkan tidak mau menghilang saat pagi tiba.Patah hati, hilang mimpi, kecewa, marah, lemah, tak berdaya, semua menyatu, mendobrak bendungan yang tak pernah bisa ditahan. Semua mengalir deras. Sungai air mata itu bahkan tidak bisa benar-benar mengering hingga 2 bulan setelahnya.Apalagi yang bisa gue lakukan, selain mempercayakan hidup di tangan Pemilik Kehidupan?Malam-malam dalam sunyi akhirnya bisa terlewati, bisikan-bisikan serupa sedu sedan selalu mengalun. Berdoa 5 kali dalam sehari terasa tidak lagi cukup untuk mengadu. Sebanyak yang gue bisa, sebanyak yang gue mampu, semua percakapan-percakapan rahasia itu terus menerus gue lakukan.Dari sekian banyak tanya yang gue ajukan, satu permintaan yang selalu gue ulang-ulang."Ambil kembali seluruh rasa sakit, pertanyaan, amarah, dan kecewa ini, Ya Tuhan. Aku kembalikan lagi semuanya kepadaMu. Seluruhnya. Aku kembalikan semua kepadaMu. Tapi gantikan dengan kesabaran, dan keikhlasan untuk mengisi kekosongannya. Aku serahkan semuanya kepadaMu. Ambil lagi semuanya. Karena aku butuh kesabaran, dan keikhlasan yang luar biasa besar untuk menjalaninya. Dan hanya Engkau yang bisa. Tidak ada lagi yang lainnya."Rasa ingin menyerah itu terkadang datang. Menggulung semua harapan yang pernah ada. Menjatuhkannya lagi berulang-ulang. Kadang begitu cepat hingga tak bisa dicegah. Kadang dalam gerak lambat. Naik, jatuh. Merangkak lagi, jatuh lagi. Bangkit lagi, jatuh terpelanting lagi. Begitu terus berkali-kali.Ada masa dimana rasa sakit menampar secara tiba-tiba, gue harus menahan air mata di hadapan murid-murid gue selama 45 menit, mengajar seperti biasa, lalu terisak menangis di kantin pada saat makan siang, kemudian masuk lagi ke dalam kelas, mengajar seakan-akan tidak terjadi apa-apa.Oh iya, hal se-gila itu pernah gue lakukan. Topeng baja itu pernah gue pasang di muka gue.Senyum itu masih ada, masih tulus. Tapi satu detik setelah memalingkan wajah, mungkin jika ada orang yang berdiri cukup dekat dengan gue, orang tersebut bisa mendengar desahan yang bersiap berubah menjadi isakan tangis lagi.Tapi bukankah gue sudah menyerahkan, mempercayakan hidup kepada Tuhan?Itu cuma satu-satunya pilihan.Menyerah memang bukan jalan keluar. Jalan keluar justru ada di ujung sana. Dan untuk sampai kesana, pilihan apa yang gue punya selain untuk tetap berjalan?Proses penyembuhan itu ternyata tidak selama yang gue pikirkan.Semua berjalan begitu cepat.Kemudian, hari ini datang.Gue masih hidup untuk menunjukkan kepada dunia, gue bertahan.Rasa sakit itu hilang dengan sendirinya. Semua yang dulu pernah terasa begitu penting, seakan tidak berarti lagi.Seakan tidak memiliki arti yang dalam lagi untuk kembali menyakiti.Ini mungkin keikhlasan yang pernah gue minta. Dalam bentuk yang seperti ini.Tapi, apa yang seakan-akan pernah hilang, yang belum sempat gue miliki tapi sudah gue bayangkan akan memiliki, digantikan dalam bentuk-bentuk lain yang lebih indah. Dan terlihat lebih kekal.Cinta datang dalam bentuk keikhlasan dari restu orang tua. Bahwa mereka percaya, suatu saat gue akan kembali bahagia. Dan usia memang seharusnya tidak lagi menjadikan alasan untuk tergesa-gesa.Cinta menyapa dalam bentuk persahabatan yang baru. Ada seorang kawan yang menyediakan dirinya 24 jam setiap hari untuk membantu membalut luka-luka jiwa itu. Kemudian apa yang dia lakukan, menginspirasi gue untuk melakukan hal yang sama, pada orang yang dulu cuma sekedar gue kenal aja. Yang juga sedang mengalami hal yang pernah gue alami dulu. Lalu, kami bertiga jadi berteman.Lalu gue menyadari, ini bentuk cinta yang bisa gue berikan kepada orang lain. Mendukung mereka yang memerlukan dukungan.Memberikan pelukan tanpa harus diminta. Menyediakan bahu untuk bersandar. Mengusap air mata tanpa diminta. Menyediakan telinga untuk mendengarkan, kemudian menyampaikan penghiburan bila diminta.Bukankah gue dulu pernah berada disudut gelap yang sama?Terpuruk dalam duka?Menemani orang lain menyembuhkan diri ternyata juga menguatkan diri gue sendiri.Bahkan gue masih ingat rasanya, bangun di pagi hari cuma mau mengirim pesan kepada teman gue yang mau mendengarkan semua keluh-kesah gue itu.Cinta menyapa dalam bentuk kesadaran. Kesadaran akan hidup yang gue miliki sekarang, yang tidak akan mau lagi gue tukar dengan apapun di dunia ini.Cinta diri sendiri, merawat dan menghargai diri sendiri, yang berujung kepada tekad dimasa depan. Bahagia gue tidak perlu bergantung pada orang lain. Lalu, cinta kepada manusia itu tidak boleh melebihi cinta kepada Tuhan. Dan akan lebih indah bila mencintai manusia, karena cinta kepada Tuhan.Kesadaran seperti itulah yang membawa gue kepada rasa syukur. Mensyukuri hal-hal yang dulu pernah luput dari pandangan. Hal-hal yang terlihat sepele, kini menjelma berkah. Semakin disyukuri, semakin malu. Malu kalau beribadah cuma saat mau mengeluh.Tapi bahagia tidak berhenti sampai disitu.Cerita ini masih belum selesai.Pertanyaan besarnya, saat gue mempercayakan hidup gue kepada Tuhan, dan ujian ini Dia berikan kepada gue kemudian gue berhasil melaluinya, sebenarnya, Tuhan menginginkan gue ini menjadi manusia seperti apa?Tapi lagi-lagi, cuma waktu yang memiliki hak untuk menjawab pertanyaan itu.Sampai hari ini, gue bertahan hidup untuk menceritakan hal ini kepada orang lain.Gue sudah tahu, mau jadi manusia seperti apa gue esok hari.Gue bisa bilang dengan bangga, "Saya Farah. Usia saya 26 tahun, dan diantara rasa sakit karena kehilangan mimpi-mimpi yang pernah saya miliki, saya menemukan diri saya sendiri."Dan memang, tidak pernah ada kebetulan di dunia ini. Karena sepenuh hati setelah kita menyerahkan hidup kita kepada Tuhan, kita akan disadarkan bahwa memang Dia mengetahui segala yang terbaik untuk kita. Sedangkan kita tidak mengetahui. Karena itu, yang perlu kita lakukan hanya meminta. Meminta kebaikan dalam setiap hari, meminta pelajaran dalam setiap badai, dan mensyukuri pelangi yang kita lihat di penghujung hari, sebelum matahari benar-benar terbenam.Hari ini gue tahu, gue telah menggenggam tiket emas gue sendiri.Dan ya, dimasa saat gue meyakini bahwa mimpi gue berakhir, kenyataan membangunkan gue dari tidur, dan memaksa gue untuk membangun kehidupan gue dari awal lagi. Hidup milik gue sendiri."There will come a time when you believe everything is finished; that will be the beginning. " — Louis L'Amour--------*Related note: The letter I was too stubborn to send: Aku memaafkanmu
OK, first of all, let me tell you HOW I gave this book two stars. It's actually an average. I gave it 1 star for the story and 4 for intent. Since I can't give halves, it gets a 2. I'll explain story / intent below.I was at a business seminar getting ideas for my business when Brendon jumped on stage and said some funny, mildly informative, and (a few) thought provoking things. Nothing spectacular here, on stage or in the book. It's really all been done and said before. But what propels people to the top in most cases is marketing and push, push, push. There's a lot of mediocre material out there that "makes it." The book is rather contrived with a-man-goes-to-carnival instead of heaven theme (The Five People You Meet in Heaven) to discover truths about his life. But some serious detractors were the appearance of such characters as a wizard, a guy named Harsh the Hypnotist (Gee, what do you think he's going to be like?), and the title of chapter 3, The Truth Booth. At the end of chapter three, the main character asks, "What now?" Henry his guide replies, "Now we see the wizard." As I read this, I could hear strains of We're Off to See the Wizard rumaging about in the back of my mind. I'm sorry, but this is all too Mary-Higgins-Clark-forecasting obvious for me (Be careful, there's actually a character named Mary Higgins in the book. Really!). Brandon is obviously not a writer, so let me tell you what's going on here. This guy teaches how to get your stuff into the public's hands. You do so by contacting for-profit and non-profit companies. He did so. You can see by the CEO's who wrote blurbs for his book. Well, they didn't--CEO's are too busy--they probably picked from a list of blurbs. And a good point of note here is that's how it's usually done. Either people who like you or benefit from association with you (a certain percentage of the proceeds go to the companies Burchard partnered with)give you a blurb for your book. Also what's interesting is the people on Amazon who felt duped into having to read this book. Maybe the companies he partnered with made their employees read / buy it. Don't know. But just like email blasts on Amazon that shoots a book to number one based on who you know (joint ventures), this book will eventually fly or die on its own. With all his promoting, expert blurbs [even Jack Canfield, Mark Victor Hansen (Chicken Soup for the Soul guys), and James Redfield (The Celestine Prophecy)] it's still only doing OK on Amazon. #237,324,392 to my #365,231 (Black Body Radiation and the Ultraviolet Catastrophe), which actually got as high as 17,000 WITHOUT CORPORATE SPONSORS. Go figure. But he is making thousands if not millions training people to change and such, so he's used his book as an in to his profession. But in this day-n-age of the master marketer, people can shoot to the top with a book without much substance or content. So buyer beware! Oh, as far as intent is concerned, Brendon's heart is in the right place and he does give a percentage to charity. However, he is digging the TONS of cash piling up because of his second chance, his Golden Ticket given for another chance. So learn from Brendon how to make change as he takes your change, and then some, to the bank.
What do You think about Life's Golden Ticket: An Inspirational Novel (2007)?
Have you ever met someone who’s personality is so exuberant with the joy of life that you can’t help but wonder what their secret is? I had the pleasure of meeting Brendon Burchard recently at jvAlert Live in Long Beach. He gave the most amazing presentation of the entire conference.Brendon used to work for Accenture where he was on a fast-track to becoming a partner. (I used to work for a big consulting company so I can tell you that becoming a partner is a *big* deal.) But he left his career at Accenture to write an inspirational novel: Life’s Golden Ticket.The premise of the book is: If you were given a ticket that could magically start your life anew, would you use it?Stop and really think about that for a moment. Would you? Why or why not?If there are aspects of your life that you are not entirely happy with, how much pain do you need to experience to change? Do you have to be attacked by lions like the main character in the book?On the surface the book is an entertaining read about a young man’s visit to an amusement park. But each adventure in the park is a not-so-subtle metaphor for things that have gone wrong in his life. In the bumper boats ride kids self-select into two different groups: the explorers who set out to reach the other end of the pool as quickly as possible to explore new areas and new experiences, and then there are the spinners who spin their boats around and around in one place. Are you an explorer or a spinner?Life is a wonderful gift, you must not waste it! Brendon was given a second chance after surviving a car accident ten years ago. Since then he has made it his mission to not waste a single moment, live life to the fullest and return the gift by giving to others.
—Nicklas
I enjoyed this book way more than I thought I would. It kept my interest from beginning to end, always wondering what would happen next. I loved that it was unpredictable. There were times when I would laugh, & then the next moment my heart would be pounding! I felt many different emotions while reading this book. It would make a GREAT movie! It's been a while since I last read a really good book, & this is one I HIGHLY recommend. What a great book about personal growth & change. Makes you think!
—Faythe Swanson
I was running hot and cold with this one. Brendon Burchard is a charming young man with a moving story that motivated him to change his life and to write this book. The "device" of the magical circus seems at times apt and at times a bit much, but there are some wonderful insights. I found myself thinking of Steve Chandler's books and talks, when he puts our life stance on the continuum from "Victim" to "Owner." In case you don't want to read either one of them, I'll give you a hint. If you think you are a victim (a claim and complaint I have called outrageous and ridiculous in the USA in the 21st Century) consider the words spoken by the Wise Man On The Mountain to Ziggy: "No, Ziggy, the whole world isn't out to get you. Fully 99.99% don't care one way or the other!"
—Harry Roger Williams III