Sepertinya aku perlu memakai konsep ini, untuk membuat review di saat aku merasa ingin membuatnya, mungkin tak perlu menundanya hingga kuselesaikan. Toh, tak ada yang melarang review bertahap kan ? :DIni terbukti dari buku satu ini, saat tinggal kurang dari 20 halaman lagi buku ini kuselesaikan, aku sangat ingin menulis reviewnya, eh, setelah selesai malah niat itu tak kunjung bersambut. Ada saja rasa malas yang menundanya. 'Feel'-nya sudah mulai hilang.Buku ini sebenarnya berjudul Sons, yang mengisahkan ketiga anak Wang Lung - sang petani yang tekun, yang telah beranjak dewasa dan memiliki keluarga serta keturunan masing-masing. Mengapa diberikan judul terjemahan 'Wang si Macan' ? Sepertinya karena porsi penceritaan sebagian besar tentang anak ketiga ini, serta alur cerita ke buku ketiga yang bersumber dari Wang si Macan. Anak pertama, Wang sang Tuan Tanah, adalah seorang lelaki yang suka memuaskan nafsu jasmaninya, bergaul dengan banyak wanita yang menarik indera penglihatan (selain istri dan selirnya). Wah, satu istri dan satu selir resmi tak cukup nampaknya bagi lelaki ini, bahkan anak-anak yang dilahirkan untuknya sepertinya tak membuatnya tertarik untuk tinggal di rumah dan membina mereka. Wang sang Tuan Tanah, perlambang NAFSU JASMANI seorang pria yang membuatnya terpuruk dalam beban finansial yang cukup berat, demi memenuhi keinginan wanita-wanita di sekitarnya. Dia tak dapat mengembangkan dan mengusahakan warisan yang ditinggalkan oleh Wang Lung, namun justru menghabiskannya sedikit demi sedikit. Dia mendapatkan istri yang pintar, bahkan rajin bersembahyang, namun keluarganya tak harmonis. Hubungan dengan anak pun tak dekat, hingga anak sulungnya lepas kontrol, hidup meniru sang ayah.Anak kedua, Wang sang Saudagar, adalah seorang lelaki yang sangat tekun bekerja dan cermat dalam menghitung harta kekayaannya, bahkan terkesan kikir. Dia berdagang beras dari hasil ladang yang ditinggalkan Wang Lung yang tentunya dikerjakan oleh orang-orang upahan atau orang yang menyewa sawah tersebut. Wang sang Saudagar nampaknya mendapatkan pasangan yang pas baginya, seorang istri yang pintar berhemat. Anehnya, walaupun hidup dengan sangat diirit terkesan pelit, kehidupan di keluarga ini agak 'hidup', paling tidak ada gelak tawa dan kepolosan berkembang di antara anak-anaknya. Sayang disayang, Wang sang Saudagar ini hanya sibuk menghitung untung, bahkan anaknya dititipkan pada sang paman pun hanya demi 'untung'. Mungkin dia tak dapat menikmati sebagian kenikmatan yang sebenarnya bisa dia rasakan. Sifat Wang sang Saudagar ini mewakili sifat KETAMAKAN yang dimiliki oleh manusia.Anak ketiga, Wang si Macan, seorang anak yang dididik oleh Wang Lung agar menjadi petani, malah menolak mentah-mentah rencana sang ayah dan berkelana untuk menjadi tentara. Dia menjual tanah warisan ayahnya hanya demi impiannya mencapai kekuasaan. Dia bahkan nyaris tak mengenal cinta pada wanita setelah cinta masa remajanya pada Pear Blossom yang bertepuk sebelah tangan. Wang si Macan menyalurkan hasratnya pada KEKUASAAN yang menurutnya bisa dicapainya dengan perang di berbagai tempat, merebut berbagai daerah. Upayanya untuk mendapatkan istri pun tak mulus. Dia sempat menelan pil pahit saat menikahi seorang wanita yang disangkanya berpotensi dapat melahirkan anak yang dia idamkan ternyata mengkhianatinya.Anak yang didambanya akhirnya didapatkan di kemudian hari saat usianya beranjak paruh baya, dan dididiknya ala prajurit demi menggapai ambisinya.Ahh, buku ini benar-benar menggambarkan 3 hasrat manusia yang memang kebanyakan ada pada para lelaki, seperti hawa nafsu, ketamakan (harta duniawi), dan kekuasanaan. Wanita, Harta, Tahta. Aku belajar sesuatu di sini. Hampir tidak ada sosok anak yang berhasil memenuhi keinginan orangtuanya di kisah ini. Hanya di buku pertama, Wang Lung dapat mencapai prestasi dalam bidang pertanian yang memang ditanamkan oleh ayahnya sejak kecil, dengan kegigihan dan kerja kerasnya.Anak-anak Wang Lung justru tidak ada yang mencintai tanah, yang tekah diperjuangkan Wang Lung dengan tiap tetes keringat dan air mata.Demikian pula cucu-cucunya, yang benar-benar berlainan dari apa yang didambakan oleh para orang tua mereka Wang sang Tuan Tanah, Wang sang Saudagar, dan Wang si Macan.Anak-anak bukanlah pion yang bisa dimainkan oleh orangtuanya atau budak dari impian orangtuanya. Orangtua dapat mengarahkan anak, atau mempunyai impian yang tinggi atas anak-anaknya, yang mungkin juga bagian dari impian mereka di kala muda yang tidak tercapai, lalu dibebankan pada sang anak.Jangan sekali-kali memaksakan impian pada anak-anak. Anak-anak adalah makhluk hidup pribadi, yang dipercayakan oleh Tuhan pada orangtua untuk dikasihi dan berkembang bersama. Bukan berarti anak-anak itu bebas untuk dibentuk oleh orangtua. Buktinya, bukan hanya ada pada kisah ini, namun juga kisah nyata di banyak keluarga.Kebanyakan mereka yang bahagia menjalani hidupnya, adalah mereka yang berhasil menemui panggilan hidupnya sendiri serta menjalaninya dengan kesungguhan. Bukan yang menjalani hidupnya dengan paksaan, karena apalah artinya hidup dengan limpahan harta atau kekuasaan, namun tanpa kebahagiaan yang meresap sampai relung jiwamu? Apakah yang lebih indah dari menghidupi apa yang kau cintai, bukan apa yang diwajibkan untuk kau jalani ?Figur favoritku dalam buku kedua dari trilogi ini adalah Pear Blossom.Bagaimana tidak ? Dia mencintai Wang Lung dengan cinta yang mungkin lebih cenderung seperti cinta kepada figur ayah. Namun baktinya pada Wang Lung dan keluarga tak bisa dilupakan, saat dia setia mengurus anak Wang Lung yang cacat serta cucunya yang disingkirkan oleh keluarganya, bahkan hingga usia senja. Dia tak silau oleh gelimang harta benda peninggalan Wang Lung maupun suburnya tanah yang membentang luas. Dia mencukupkan dirinya dengan apa yang diberikan keluarga besar itu padanya, dan tetap mencintai tanah Wang Lung dengan cara memberikan nasehat pada putra-putra Wang Lung yang ingin menjual tanah warisan itu.Aku tambah tertarik dengan kisah di buku ketiga. Kira-kira apa pelajaran yang bisa kupetik ya ? :)
This is a sequel to Pearl Buck's most famous book, The Good Earth, following the lives of Wang Lung's three sons for about 30 to 40 years, after the father's death. None of the sons wants to work the land that their father prized so highly, and all are eager to sell some or all of that land, in spite of their promises. The eldest son loves a life of complete idleness and luxury and raises his own sons in that same lifestyle. The second son is a hard-working but fairly greedy merchant, who want money to expand his business. The third son, who has been away from home for 10 years at the time of his father's death, has become a soldier and dreams of using his father's fortune to gather an army of his own, conquer a town or province, and become a war lord. This son even dreams of ruling the whole of China, during the period of political instability and wars between the war lords in the south and the war lords in the north.I loved the Good Earth but found this sequel to be too melancholy for my taste. I enjoyed the book for its depiction of China before the rise of the common people's revolution and for its portrait of the Chinese people, especially the common people who worked the land. The sections of the book that follow the third son, Wang the Tiger, and his own son are the most interesting. This petty war lord never quite escapes his father's influence, which reaches from beyond the grave to remind him of his family's connection to the land. One quote from this section stands out, when The Tiger's son tells his father that he is not interested in becoming a soldier but in becoming a farmer: "He felt an old, known helplessness come creeping over him again. It was the same sick helplessness he had been used to feel in the days of his youth, when the earthen house was his gaol. Once more his father, that old man in the land, reached out and laid his earthy hand upon his son."At the end of this novel, the revolution is just beginning in China. Even the author, Pearl Buck, did not see at the time where that revolution would lead. Looking back to the time before those events is fascinating. We wonder how much of the old Chinese culture remains, much as it did for Wang the Tiger, despite his efforts to escape.
What do You think about Sons (2005)?
Buku ini bagian kedua dari trilogi Dinasti Wang. Di buku ini, fokusnya beralih dari kehidupan Wang Lung, si Petani, ke anak-anaknya. Tapi main focus-nya lebih ke anaknya yang ketiga, Wang si Macan.Singkat cerita, Wang Lung akhirnya meninggal dalam usia tua. Harta yang dia kumpulin lantas dibagi-bagi menjadi milik anak-anaknya. Anaknya yang pertama, disebut Wang si Tuan Tanah, mengelola tanah pertanian milik Wang Lung. Bukan dengan membajak dan menanam padi sendiri, sih. Tapi disewain sama para petani. Sementara yang kedua, Wang si Saudagar, jadi saudagar beras di kota. "Jalur profesi" ini emang dipilihin sama Wang Lung buat anaknya, karena selain dia mau punya anak jadi petani atau tuan tanah, dia juga mau ada anaknya yang bergelut di penjualan beras, jadi beras hasil tanahnya ga perlu dijual ke pedagang beras lain. Pinter juga ya... kalau istilah sekarang, duitnya ga lari ke mana-mana hehehe...Nah, sementara anak yang ketiga ini, yang agak nyimpang dikit dari garis keluarganya... di buku pertama diceritain kalau dia kabur dari rumah dan jadi tentara. Di buku kedua, dia diceritain udah jadi kapten di suatu tempat. Pas dapet warisan, warisan itu "digadaiin" ke saudara2nya sendiri, dengan harapan supaya dia dapet "mentahnya" aja. Karena dia punya rencana mau mandiri dari jenderalnya, lalu mengembangkan pasukannya sendiri. Cita-citanya oke banget: dia mau jadi penguasa.Di buku ini lantas diceritain usaha yang dilakuin sama Wang si Macan demi mencapai puncak kekuasaan. Beda dengan para pemimpin lainnya, Wang si Macan ini pinter banget dan juga berhati adil. Dia sangat menentang tradisi rampas merampas yang dilakuin sama prajurit sehabis menang perang. Dia juga sangat pro dengan rakyat miskin.Kesan keseluruhannya, Wang si Macan ini seperti ungkapan, muka preman, tapi hatinya Rinto Harahap hehe... Kalau gue sih curiga dia bintangnya jangan2 Pisces... ha ha.. apa coba. Pokoknya sebenarnya dia itu sangat lembut hati, tapi entah kenapa, jiwanya itu memilih untuk mengejar kekuasaan (tuh kan, Pisces banget... mellow tapi visioner). Dia sangat ingin punya keturunan untuk melanjutkan cita-citanya. Itu juga yang membuat dia akhirnya menikah. Istri pertamanya itu dengan tega dia bunuh, karena ketahuan berkhianat sama dia. Padahal dia cinta banget sama si istrinya ini, setelah di masa remaja sempat patah hati karena perempuan yang dia suka ternyata jadi selir bapaknya. Setelah kematian istri pertamanya itu, dia menikahi 2 wanita sekaligus. Bukan karena cinta, tapi semata-mata karena dia mau dapat keturunan laki2.Tapi apa daya, anak laki2nya semata wayang yang dia sayang setengah mati itu, ternyata punya cita2 lain. Meski dididik sama dia, diajarin teknik berperang, didoktrin kalau dia adalah sang "Panglima Muda", anak ini ternyata mewarisi darah kakeknya. Dia malah tertarik untuk jadi petani. Tapi karena dia penurut, sewaktu Wang si Macan memerintahkan dia untuk masuk sekolah militer, dia pergi ke sekolah itu.Di akhir cerita, Wang si Macan udah mulai tua dan kehilangan semangat berperang. Dia mau mengalihkan semua ambisinya ke anak laki-lakinya itu. Dan tak lama, anaknya itu pulang dan meruntuhkan semua harapannya.
—Irene J.
This second in Pearl Buck's "The Good Earth" trilogy was not nearly as captivating as the first. The story centered around Wang the Tiger, an angry, fierce warlord. His complicated character did keep me interested and rapidly reading, but I hoped he would have ended up with a little more redeeming of a character than he did.I enjoy Buck's illustrations of her characters but sometimes they seem too much that way... characters instead of people: the fat, lazy landlord, the tight-fisted merchant, the fierce warlord, etc.I am devouring DVDs and books about China to help give me a background for my trip there in April. This trilogy has given me a flavor of the daily lives of farmers, landlords, merchants, warlords and the impending revolution, spun through the stories of one family.I am definitely going to read the third, "A House Divided" right away!
—Jenny
The second volume in The Good Earth Trilogy, continuing the family saga of the Wang family, which began in the eponymous first volume. Focusing on the fortunes of the three sons of Wang Lung, it is less compelling than the story of the patriarch...the lives of the sons are not so fraught, nor so interesting, as that of the father, nor are the sons as complex characters. Most of the book is devoted to the life of Wang the Third - Wang the Tiger - who shunned his father's wishes for him to be on the land in favor of life as a warlord. While the Tiger is more humane than many of his ilk, he is permanently crippled by misogyny, apparently from his father's having usurped the one woman to whom he was ever attracted. Despite these limitations, it is an excellent read.
—Meredith