The Firework-Maker's Daughter (2006) - Plot & Excerpts
Bakat - Keberanian - Nasib baik."Aku ingin menjadi pembuat kembang api," Lila berhasil berkata.Razvani tertawa keras sekali."Kau? Tidak mungkin! Dan apa yang kauinginkan dariku?""Sulfur Bangsawan," jawab Lila tersedak.Mendengar itu Razvani menepuk sisi tubuhnya sendiri dan tertawa semakin keras, lalu seruan mengejek dan pekukan girang terdengar dari semua setan api."Sulfur Bangsawan? Kalian dengar itu? Oh, hebat! Lucu sekali! Nah, bicaralah, Nak: apakah kau memiliki Tiga Bekal?"Lila hanya bisa mengangkat bahu dan menggeleng. Ia hampir tidak bisa bicara."Aku tidak tahu apa itu," katanya."Jadi apa yang akan kautukar dengan Sulfur Bangsawan?" Razvani bertanya menggelegar."Aku tidak tahu!""Kau takkan memberi apa pun untuk ditukarkan?""Baiklah, aku akan bercerita kepadamu. Aku harap cerita ini cukup berharga bagimu untuk ditukar dengan Sulfur Bangsawan. Nah, dengarkanlah ceritaku ini wahai Razvani."Razvani duduk diam di singgasananya. Siap mendengarkan. Ia ingin tahu, cerita seperti apa yang sepadan dengan Sulfur Bangsawan.Lila mulai bercerita,"Alkisah, pada jaman dahulu kala, tersebutlah dua butir telur puyuh berbintik hitam dan berbintik cokelat. Kedua butir telur puyuh itu tertidur meringkuk dengan nyaman dibawah eraman hangat sang induk burung puyuh betina, di dalam sarang mereka, di balik semak-semak bunga soka.Setiap pagi sebelum mencari makan, burung puyuh jantan selalu mematuk sayang kening induk burung puyuh. Setelah itu pergi mencari makanan. Terkadang ia membawa pulang seekor cacing, atau beberapa butir biji-biji beras yang tercecer di halaman rumah pak tani, tak jarang pula ia membawa pulang seekor serangga yang cukup besar untuk dimakan berdua. Begitu cintanya burung puyuh jantan kepada pasangannya yang dengan sabar mengerami buah cinta mereka tanpa lelah, sehingga burung puyuh jantan merasa ia rela mati demi keluarganya.Tapi rupanya takdir mempermainkan mereka.Pak tani mengalami rugi besar tahun ini. Panennya gagal karena sawahnya terkena banjir. Keluarga pak tani mulai menderita kelaparan dan kerugian besar. Satu persatu hewan peliharaan mereka dijual. Beberapa ekor disembelih dan dagingnya disimpan hemat-hemat oleh istri pak tani.Hingga suatu hari, yang tersisa hanyalah segenggam gabah yang belum digiling, dan sepasang burung puyuh. Pak tani memandangi gabah di dalam genggamannya dengan sedih. Anak-anaknya di rumah menangis karena lapar. Sedangkan istrinya mulai sakit-sakitan. Sepanci bubur terakhir yang mereka santap bersama kubis telah habis dua hari yang lalu. Dengan berat hati, Pak tani menyembelih burung puyuh jantan, dan memasaknya bersama bubur untuk dimakan bersama keluarganya malam ini.Hari mulai gelap. Angin dingin berhembus meniup semak-semak bunga soka hingga bergetar. Induk burung puyuh merapatkan eramannya. Belahan jiwanya belum kembali ke sarang mereka. Dimana gerangan ia berada?Matahari mulai bersinar. Induk burung puyuh menitikkan air mata. Tidak pernah seumur hidupnya ia merasa begitu sendirian. Tidak pernah selama ini, burung puyuh jantan membiarkannya menunggu begitu lama.Pak tani membelai burung puyuh ditangannya dengan penuh kasih sayang. Sorot matanya berduka, penuh permohonan maaf. Langit bergemuruh, angin dingin berhembus. Hujan mulai turun malam ini. Udara diluar begitu dingin. Dan malam ini, keluarga Pak tani makan daging burung puyuh lagi.Telur berbintik hitam mengerjapkan matanya. Seluruh cangkangnya bergetar kedinginan. Sarangnya mulai digenangi air. Ia memiringkan tubuhnya, membentur perlahan cangkang saudaranya. Merasakan setiap benturan cangkang saudaranya, telur berbintik cokelat. Kedua butir telur kedinginan. Bertanya-tanya kemana kehangatan yang biasa melindungi mereka? Kemana perginya rasa nyaman yang biasa menyelimuti? Apa ini namanya, perasaan yang membuncah, mengalir di seluruh permukaan cangkangnya yang berbintik? Ia ingin memberikan kehangatan kepada telur yang lainnya, tapi tak memiliki daya untuk merengkuhnya. Mengapa?Perlahan tapi pasti, air mulai menyusup melalui pori-pori. Degup jantung makhluk yang masih meringkuk di dalam lindungannya perlahan melemah. Sampai akhirnya hilang sama sekali.Mereka tenggelam. Hujan malam itu deras sekali. Banjir setinggi mata kaki orang dewasa menggenangi rumah pak tani. Dan semak-semak bunga soka di halaman depannya. Telur-telur itu tidak akan pernah bisa menetas. Namun ternyata, tak perlu terbangun dari tidur untuk merasakan cinta. Setiap kehangatan yang dialirkan induk telur puyuh, meresap kedalam ingatan mereka. Dan itulah yang ingin mereka sampaikan bahkan hingga di saat-saat terakhirnya."Lila menyelesaikan ceritanya.Razvani berdeham, dan mengusap matanya dengar gerakan cepat."Ah, debu-debu api ini, selalu membuat mataku berair di saat-saat yang tidak tepat."Lila berdiri mematung. Ia menunggu. Jantungnya berdegup begitu kencang seakan-akan terdengar bunyi dentam yang bertalu-talu. Dug dug dug dug"Cerita yang sungguh mengharukan, Lila," Razvani berkata kepadanya."Dan.. Sulfur Bangsawan-nya?" tanya Lila."Ah.. itu lagi. Semua itu hanya ilusi, Lila. Kenapa sih kalian manusia mudah sekali tertipu dengan hal-hal semacam itu?" Razvani menyilangkan kaki dan meniup ujung kukunya. Ia membersihkan ujung jarinya dengan ujung kain yang menjuntai dari jubahnya."Ilusi? Aku tidak mengerti!""Ilusi! Sama seperti ceritamu yang tidak masuk akal itu!""Apa maksudmu?" Lila menatap Razvani dengan berang."Pertama, pohon soka tidak berbentuk semak-semak, anak bodoh. Pohon adalah pohon. Batangnya mungkin tidak tinggi, tapi juga tidak serendah semak-semak. Kemudian, apa itu 'mematuk sayang'? Kamu terlalu banyak mainan Twitter dan bergaul dengan penjahat-penjahat hashtags! Dan kening?!? Sejak kapan burung memiliki kening?!? Sungguh aku emosi jiwa mendengarnya.Walaupun aku tahu, ya ya, telur memang memiliki pori-pori karena itu tidak boleh direndam terlalu lama di dalam air saat dicuci. Dan telur tidak boleh dicuci dengan sabun. Dan cangkangnya tidak boleh digosok terlalu keras karena akan menghilangkan lapisan luarnya dan memengaruhi kesegaran telur. Pasti ibumu yang mengatakan hal itu kepadamu.Dan aku mengakui, ceritamu menyentuh hati. Kepandaianmu dalam merangkai kata untuk memainkan emosi pembaca. Tapi semua itu tidak akan berarti tanpa fakta, Lila. FAKTA!Dan tidak ada yang namanya Tiga Bekal. Pertama, kamu mungkin memiliki bakat. Kedua, kamu memiliki tekad, keberanian, atau apalah itu untuk merusak cerita dari buku yang telah menerima penghargaan Gold Medal Smarties Prize. Tapi kamu tidak memiliki yang ketiga. Nasib baik. Tak ada orang yang akan membaca ceritamu. Ceritamu ini tidak akan membawamu kemanapun. Cerita ini tidak berguna, Lila. Dan kamu, kamu tidak bisa kemana-mana. Kamu akan mati kering di dalam gua ini. Terima saja hal itu. Hahaha. Semua itu hanya ILUSI. Hahahahahaha"Lila memicingkan matanya dengan geram. Tawa Razvani masih menggema. Kemudian ia berkata, "sama seperti kesombonganmu saat ini, Razvani. Semua hanya ilusi.""Apa maksudmu?" Razvani menghentikan tawanya."Yah, Sulfur Bangsawan, Tiga Bekal, cerita sedih tentang telur burung puyuh, semua hanya ilusi. Aku ilusi. Kau pun ilusi. Dan tidak lama lagi, semua rahasia ini akan terungkap. Seluruh dunia akan mengetahuinya. Tawa sombongmu itu tidak akan terdengar lagi, Razvani.""Apa maksudmu?" wajah Razvani memucat."Sepersekian detik lagi, ia akan menekan tombol save review. Dan dengan segera, cerita kita berdua akan dipublish di halaman Goodreadsnya. Orang-orang akan membaca, Razvani. Membaca seluruh rahasiamu yang hanya ilusi itu. Mereka akan tahu. Kau sudah tamat, Razvani.""TIDAAAAAAAKKKKK"Lila melenggang keluar dari gua. Hamlet dan Chupak sudah menunggunya disana. Ia berbalik sebentar, dan mengirim senyum manisnya kepada sang penulis review.
Nama Philip Pullman di sini dikenal lewat buku-bukunya yang telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama (GPU).Di antaranya, The Golden Compass (Kompas Emas). Novel anak-anak ini sudah pula dibuat filmnya yang akan tayang di bioskop pada Desember nanti. Philip Pullman lahir di Norwich, Inggris 61 tahun silam. Sebagai anak seorang anggota Angkatan Udara Inggris, masa kanak-kanaknya banyak dihabiskan di kapal dan melanglang ke segala penjuru dunia. Philip menamatkan kuliahnya di Sastra Inggris Universitas Oxford dan kemudian menekuni profesi guru beberapa lama sebelum akhirnya menjadi penulis penuh seperti sekarang. Bahkan kini Philip telah mendapat pengakuan sebagai salah satu pengarang terbaik dunia, khususnya untuk buku anak-anak. Ia memperoleh beragam penghargaan untuk karya-karyanya. Salah satu karyanya yang mendapat penghargaan Gold Medal Smarties adalah The Fire Work Maker’s Daughter (Putri Si Pembuat Kembang Api). Buku ini telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh PT GPU. Ceritanya tentang seorang bocah perempuan bernama Lila yang bercita-cita menjadi seorang pembuat kembang api handal sebagaimana ayahnya. Sejak kecil ia telah menjadi piatu. Ia hanya diasuh dan dibesarkan oleh sang ayah. Setiap hari ia menyaksikan bangaimana ayahnya bekerja meramu dan menciptakan kembang api terbaru. Lama-kelamaan Lila jadi mengerti caranya dan setelah menginjak remaja ia sudah pandai merancang sendiri kembang apinya. Tetapi rupanya Lalchand, sang ayah menyimpan harapan sendiri untuk putrinya. Ia tak ingin Lila menekuni pekerjaan seperti yang dilakoninya selama ini. Oleh karena itu, Lalchand merahasiakan resep terbaiknya kepada Lila. Lila yang bertekat untuk melebihi keahlian si ayah, dengan bantuan sahabatnya, Chulak, berhasil mengetahui resep rahasia itu. Salah satu syarat untuk membuat kembang api bermutu baik adalah dengan sulfur bangsawan dari kawah Gunung Merapi. Demi mendapatkannya, Lila nekat pergi ke sana walaupun beribu rintangan menghadang perjalanannya. Karena terburu-buru, ia lupa membawa air suci dari danau sebagai penangkal panas dari api abadi di puncak Merapi. Lila pergi secara diam-diam, tanpa pamit kepada ayahnya yang menjadi sangat cemas. Chulak, sahabat setia Lila, kemudian bersedia membantu Lalchand untuk menyusul Lila sambil tak lupa membawa air dari danau suci. Dengan cerdik, bocah kocak itu berhasil kabur dengan membawa serta Hamlet, gajah putih peliharaan Raja. Sialnya, ada seorang pelayan yang melihatnya pergi dan kemudian melapor pada Raja. Raja murka. Sebagai akibatnya ia memerintahkan untuk menangkap Lalchand karena dianggap telah membantu pelarian itu. Lalchand yang malang diancam dengan hukuman mati. Dalam buku tipis ini, Philip Pullman kembali membuktikan kepiawaiannya sebagai seorang pendongeng. Kisah Lila yang berambisi menjadi ahli membuat kembang api menitipkan pesan moral untuk anak-anak sebagai sidang pembaca utamanya agar bekerja dan berusaha sekuat tenaga demi meraih cita-cita. Ada tiga bekal yang mesti dimiliki setiap orang dalam mencapai ambisi dan keinginan. Pertama adalah bakat. Kedua, kemauan dan tekad baja. Dan ketiga, sedikit nasib baik. Ada satu syarat lagi sebetulnya, yakni : kebijaksanaan. Dengan keempat “bekal” ini, siapapun dapat menggapai impian. Pullman tidak secara tegas menyebutkan setting ceritanya, tetapi dari kehadiran Hamlet Si Gajah Putih yang pandai bicara, diperkuat ilustrasi-ilustrasi di dalamnya serta nama tokoh-tokohnya (Lalchand, Lila, Chulak, dll.) dapatlah kiranya disimpulkan setting tersebut adalah di wilayah–mungkin–Thailand atau Burma. Spesial tokoh Chulak yang cerdas dan jenaka telah menjadikan kisah Lila ini lebih gurih, renyah, dan menggembirakan pembacanya (kanak-kanak). Seperti kebanyakan buku kanak-kanak, dongeng Putri Si Pembuat Kembang Api ini pun menonjolkan nilai-nilai kejujuran, keberanian, kegigihan, setia kawan, dan cinta. Penuturannya jernih dengan alur konvensional sehingga mudah diikuti. Memang seharusnya seperti inilah buku dongeng.***
What do You think about The Firework-Maker's Daughter (2006)?
Sejak kecil, Lila hanya tinggal bersama dengan ayahnya, Lalchand, yang merupakan si pembuat kembang api.Dari sejak masih bayi, Lila sudah sering dibawa ke bengkel pembuatan kembang api bersama ayahnya lantaran ia tidak ada yang menjaga. Oleh karena itu, Lila sudah terbiasa dengan desisan api, bau bubuk mesiu dan segala yang diperlukan untuk membuat kembang api. Lila sangat mencintai kembang api sampai ia bercita-cita ingin menjadi pembuat kembang api bersama ayahnya.Namun sayang, pemikiran ayahnya tidaklah sama. Ayahnya tidak ingin memberitahu Lila rahasia untuk menjadi pembuat kembang api.Di tempat, Lila tinggal, terdapat seekor Gajah Putih yang merupakan milik kerajaan. Gajah Putih itu harus dilayani dengan sebaik-baiknya. Harus diberikan selimut sutra, gadingnya harus dibungkus dengan daun emas. Dan kepercayaan orang di sana, jika mereka bisa menulis di tubuh gajah putih, maka keberuntungan akan menyertai mereka. Namun tidak ada yang tahu, bahwa si Gajah Putih, Hamlet, bisa bicara. Kecuali Chulak dan Lila yang mengetahui.Dengan bantuan Chulak yang cerdik, Lila mendapat jawaban apa rahasia untuk menjadi seorang pembuat kembang api.Dalam buku ini, Philip Pullman memberitahukan bahwa ada 3 Bekal yang harus kita punya jika ingin berhasil dalam pekerjaan kita:1. Bakat2. Kegigihan3. Nasib BaikBakat / kemampuan. Sudah jelas bukan bahwa dalam melakukan sebuah pekerjaan kita mesti mengetahui apa pekerjaan itu. Bukan sekadar mencemplungkan diri tapi kita tak punya kemampuan / pengetahuan dasarnya.Kegigihan. Untuk mendapatkan segala sesuatu, harus ada usahanya. Bukan sekadar luntang-lantung menunggu hasil baik. Seperti Lila, dia begitu gigih menempuh perjalanan berbahaya demi menjadi pembuat kembang api. Nasib baik. Semua hal yang dilakukan dengan kebaikan pasti akan mendapatkan kebaikan juga. Ketiga hal itu akan membuahkan Kebijaksanaan.Namun tak ada yang lebih berarti dari itu semua kalau tidak ditambah kecintaan kita terhadap pekerjaan itu sendiri....Oh ya, kalimat awal di buku ini sudah membuat saya bertanya-tanya."Seribu mil yang lalu..."apakah artinya? karena di kepala saya Mil itu adalah jarak. Apakah bisa digunakan sebagai hitungan waktu?Namun terlepas dari itu, buku yang layak untuk dikoleksi.4 bintang dari saya. Dan saya semakin menyukai Mr. Pullman =)
—Mery
Pertama kali baca buku Philip Pullman, saya baca buku ini. Waw saya terkesan, cerita anak2 yang kaya imajinasi. Selama baca membayangkan setting-setting cerita yang menarik. Philip menggabungkan beberapa culture, saya membayangkan setting di daerah China atau Jepang (terpengaruh gambar2 yang ada di buku matanya sipit, dan gaya pakaiannya seperti orang2 China jaman dulu). emang ga pernah dikasihtau setting cerita dimana, tapi dicampur aduk, karna ada pedagang batik, Chulak dikasih uang ruppe sama orang, dan paman Rambashi pake baju gaya2 India, dll. Dan perjalanan ke Gunung Merapi saya membayangkan gunung merapi di Indonesia. Mungkin di Asia kali ya :). Yang paling tidak bisa dilupakan dari cerita ini ketika Lila berbincang dengan ayahnya apa yang dimaksud dengan tiga bekal. Ahhh jadi kepikiran, jadi untuk meraih sukses itu 3 unsur ya? salah 1 tdk ada ya gabisa terwujud. Bakat, kegigihan, dan nasib baik..cerita khas anak2, tapi sangat mengesankan :)
—Anis
Nunca sei bem o que esperar de Philip Pullman. Por um lado, o cara escreveu uma das maiores - ao menos eu considero - obras da ficção fantástica (e se você ainda não leu a trilogia Fronteiras do Universo... Shame on You!). Por outro, até hoje não consigo engolir o final de A Borboleta Tatuada; e se amei de paixão Sally e o Mistério do Rubi (que indico e recomendo para qualquer um que goste de romances policiais na Era Vitoriana), só terminei Sally e a Sombra do Norte por pura teimosia.A única coisa que posso afirmar com absoluta certeza é que jamais fui indiferente a um livro de Pullman - ou os amo ou os detesto. O cara é polêmico, vamos convir: ateu assumido, a Igreja Católica torce o nariz para ele (não duvido que se pudessem, empurravam-no para a Fogueira) - aliás, seu último título lançado foi O Bom Jesus e o Infame Cristo e por aí já dá para ter uma idéia de que Pullman gosta de jogar uma lenha na fogueira ele mesmo...Por todos esses motivos, quando fui montar a agenda do Desafio Literário 2011, não tive dúvidas em meter o Pullman no meio - hesitei apenas entre escolher O Espantalho e seu Criado e este título. Ao final das contas, creio que fiz uma boa escolha. Eu gostei bastante de A Filha do Fabricante de Fogos de Artifício: há um elemento de exótico, de diferente nela, que me faz lembrar o estilo de Kipling. Se bem que eu me remeto a Kipling toda vez que vejo uma citação à Índia, vá entender porque...Ela também tem um certo tom de fábula, especialmente pela parte do grande elefante branco falante, Hamlet (e posso morrer de rir com o fato de que batizaram um elefante melancólico com esse nome?).Esse tom, esse sentido do exótico é realçado ainda pelas ilustrações de Nick Harris, num traço cheio, rápido, meio pesado, perfeito para a história que conta.Estou tentando aqui arranjar uma maneira de explicar como me senti com a leitura desse livro. Não sei, acho que... bem, vocês já tiveram a impressão de, enquanto mergulham numa história, sentirem o gosto, o cheiro, o som daquela história? Foi isso que Pullman fez nessa sua pequena fábula: minha impressão era de sentir o cheiro e o gosto de especiarias (com uma pitada de fumaça da grelha da Rambashi?) e de ouvir a música que as dançarinas acompanhantes dos cortejos dançavam.Lila, a personagem do título, cresceu na oficina do pai, um artesão dos fogos de artifício. Fascinada por aquele universo, desde pequena ela demonstra claro talento para os negócios da família, sendo capaz de, sozinha, criar seus próprios fogos. No entanto, quando fala com o pai sobre o assunto, o velho se assusta, e diz que ela não pode ser uma fabricante de fogos; ela tem de casar.Claro que a menina se revolta com a idéia e, graças à ajuda de Chulak, o garoto responsável por cuidar do elefante branco do rei, Hamlet, ela descobre que para se tornar uma legítima fabricante de fogos, precisa passar pela prova do demônio do Monte Merapi, Ravazni.O problema é que quando Chulak engana o pai de Lila para que ele revele o segredo, o velho Lalchand não lhe conta tudo e é assim que a menina parte sem saber o detalhe mais importante para sua proteção.É claro que o rapazinho decide ajudar a amiga, afinal, ela se meteu na enrascada, em parte, por causa dele. O problema é que Chulak é guardião de Hamlet, um magnífico elefante branco que pertence ao rei. Elefantes brancos são raros e muito caros de se manter: dormem em lençóis de seda, precisam ter suas presas folheadas todos os dias a ouro e comem toneladas de sorvete de manga - quando o rei está zangado com algum de seus nobres, ele manda o elefante como presente para o mesmo e o esforço para manter o animal acaba levando o dito à falência.Exceto pela parte dos lençóis de seda, presas folheadas a ouro e sorvete de manga, o resto da história é mais ou menos verdade. Diz-se que no antigo Sião (hoje Tailândia), os elefantes brancos, como animais raros e sagrados, pertenciam ao rei quando encontrados. Na hipótese de um cortesão cair em desgraça com o rei, este lhe enviava o animal, que, claro, tinha de ser alimentado e bem cuidado, o que custava uma fortuna e acabava por arruinar o personagem.Aliás, há um conto de Mark Twain, O Roubo do Elefante Branco, em que o rei do Sião dá um animal desse tipo à Rainha Vitória - e o bicho desaparece no meio do caminho.Não me perguntem como um elefante simplesmente desaparece, especialmente um que é um presente para a Rainha da Inglaterra. Leiam o conto, morram de rir e depois venham comentar comigo. Twain é domínio público, não deve ser difícil encontrá-lo no google.E eu saí completamente do assunto dessa resenha...O caso é... Chulak acaba por fugir com Hamlet - que, além de elefante branco, ainda era falante (mas só entre conhecidos) - para encontrar Lila - fuga essa que já vinha sendo planejada, até porque Hamlet não gostava muito do estilo de vida que levava.A crítica que posso achar para fazer ao livro é... ele é muito curto. Li o volume todo em menos de uma hora, enchendo de detalhes as entrelinhas, e já imaginando continuações e desdobramentos. A questão é que esse livro é voltado para um público mais jovem, e alongá-lo além do que ele já vai, reconheço, seria pura lingüiça.Se algum dia eu tiver filhos - num futuro ainda muito, muito distante - esse seria um livro que eu gostaria de ler em voz alta para eles, fazendo as vozes de cada personagem e quem sabe até improvisando uma completa encenação.Talvez eu faça isso para minhas sobrinhas da próxima vez que viajar para vê-las, quem sabe? Só não sei quem mais se beneficiaria da experiência - se eu ou elas...
—Luciana Darce