The Mahabharata: A Shortened Modern Prose Version Of The Indian Epic (2000) - Plot & Excerpts
Bagi seseorang dengan daya ingat yang pendek, terutama soal nama, awalnya membaca kisah epik Mahabarata ini merupakan sebuah tantangan. Untungnya sang penulis, mungkin penerjemah dan penyunting juga, paham mengenai kerumitan nama Sansekerta ini sehingga membuatkan daftar tokoh dan tempat serta glosarium. Tidak ketinggalan juga silsilah keluarga para Pandawa dan Kurawa yang dimulai dari Santanu. Bisa dibayangkan setiap bertemu dengan satu karakter akan kembali ke daftar tersebut untuk memastikan siapa orang ini. Namun ternyata kerumitan tidak berhenti di situ saja, selain mengingat nama ternyata hubungan satu tokoh dengan yang lain juga njlimet. Rasanya seperti saat kecil diminta bantuin emak mengurai benang sulamannya yang kusut. Kunci kesuksesan membaca buku ini ternyata membaca dengan perlahan dan seksama dalam tempo yang mengalir juga. Alkisah Santanu, seorang raja dari sebuah kerajaan kuno, menikahi seorang perempuan yang tujuh kali membenamkan setiap bayi yang dia lahirkan ke sebuah sungai. Santanu terikat janji untuk tidak akan pernah mempertanyakan apa yang dilakukan oleh istrinya ini. Namun ketika istrinya, yang ternyata adalah Gangga sang dewi sungai, membawa putra kedelapan mereka, Bhisma, ke sungai itu Santanu menghentikannya. Tak lama berselang Santanu bertemu putri seorang nelayan dan jatuh cinta, namun sang putri berkehendak agar keturunannya yang akan menjadi penerus kerajaan Santanu. Dan Bhisma pun mengucapkan sumpah akan selibat dan tidak memiliki keturunan agar ayahnya bisa menikah dengan sang putri. Dan dimulailah kerumitan silsilah. Setyawati, sang putri nelayan, memiliki dua putra dari Santanu namun keduanya tewas sebelum memberikan keturunan. Sebelumnya Bhisma melarikan tiga putri Amba, Ambika dan Ambalika untuk dinikahkan kepada Wicitrawirya, putra Setyawati dari Santanu yang akhirnya jatuh sakit dan meninggal. Karena Bhisma berpegang teguh dengan sumpah selibatnya, Setyawati akhirnya memanggil Vyasa putra hasil hubungannya dengan resi Antasara. Dari Ambika, Vyasa melahirkan seorang putra Destarastra yang buta sejak lahir karena ibunya memejamkan mata saat bersenggama. Dari Ambalika, lahirlah Pandu yang kulitnya pucat serta Widura putra Vyasa dari seorang pelayan yang menggantikan tempat Ambalika.Destarastra sang pewaris kerajaan memiliki 100 putra dari istrinya Ghandari, sebenarnya agak kaget juga mengetahui seorang ibu bisa melahirkan 100 putra namun yah namanya juga epik. Yang unik adalah Pandu yang dikutuk akan meninggal saat bersenggama, namun beruntung sekali Kunthi istrinya pernah mendapat berkat sehingga bisa memanggil Dewa untuk mendapat anak dari mereka. Kunthi melahirkan tiga putra [Yudistira, Bhima dan Arjuna:] dari tiga dewa berbeda [Batara Yama, Batara Bayu dan Batara Indra:], sementara Madrim istri kedua Pandu melahirkan si kembar, Nakula dan Sahadewa dari dewa kembar Aswin.Di titik ini aku mendapat pelajaran menarik bahwa setiap tindakan yang kita lakukan atau ucapan yang keluar dari mulut kita berdampak atas kejadian di sekitar kita. Amba bertransformasi menjadi prajurit pria bernama Srikandi karena beberapa kali diping-pong antara Salwa dan Bhisma. Bagiku agak aneh Amba memendam kemarahan kepada Bhisma, dan menyebabkan sang sesepuh tewas dalam pertempuran antara Pandawa dan Kurawa di Kurusetra, tetapi tidak kepada raja Salwa. Srikandi yang ditempatkan Arjuna di sisinya menyerang Bhisma yang menjadi jenderal perang pasukan Duryudana dan saat itu juga Bhisma menyadari ajalnya telah tiba. Dia menangkis semua anak panah Arjuna tetapi membiarkan anak-anak panah Srikandi yang mengenai tubuhnya. Pertempuran berhenti ketika Bhisma jatuh dan Arjuna menancapkan sebatang panah ke tanah dan air memancar dari situ langsung ke mulut Bhisma, yang kehausan di penghujung ajalnya.Sama halnya dengan Kunthi yang melahirkan Karna, putra Batara Surya, dan membuangnya ke sungai dan kemudian dirawat dan dibesarkan oleh Rada istri seorang kusir. Jika Kunthi mengakui keberadaan Karna, mengingat semua putranya lahir dari ayah yang berbeda, maka bisa jadi dia tidak akan mati di tangan Arjuna dan Yudistira tidak akan meratapi kematian orang yang seharusnya menjadi kakak sulungnya itu. Pertemuan Karna dengan Kunthi sebelum peperangan berlangsung di buku ini sedikit berbeda dengan pertunjukan yang ditonton Rahel di the God of Small Things. Dalam pertunjukan tersebut diceritakan bagaimana Karna berkata bahwa satu-satunya alasan Kunthi memintanya tidak berperang melawan Pandawa adalah demi keselamatan kelima putranya sementara di buku ini Karna lebih memilih berperang bersama Duryudana karena dia telah mengucapkan sumpah untuk berperang di pihak sepupunya tersebut. Walau memang akhirnya dia bersumpah bahwa dia hanya akan melawan Arjuna sehingga jika salah satu mati, Kunthi masih memiliki lima putra. Semua menyayangkan kesetiaan Karna pada Duryudana, termasuk Vyasa dan Bhisma. Kematian Karna juga tragis karena di saat-saat genting roda kereta kudanya terperosok lumpur dan dia lupa mantra Brahmastra yang dimilikinya. Ternyata kedua kejadian tersebut akibat kutukan yang dijatuhkan atas Karna karena dua tindakan yang pernah ia lakukan. Melihat Karna dalam keadaan putus asa Arjuna sempat ragu-ragu namun Krishna, inkarnasi kedelapan dewa Wisnu, mendesaknya terus hingga Arjuna mengangat Gandiwa, busur besarnya dan melepaskan sebatang anak panah yang memenggal leher Karna. Perang pun selesai, Destarastra dan Ghandari kehilangan 100 putranya [seharusnya 99 karena Wikarna menyeberang dan bergabung dengan Pandawa, namun mungkin Karna dihitung menjadi adik Duryudana karena kesetiaannya:]. Yudistira yang bersedih ingin menyerahkan kerajaannya kepada Arjuna dan menjadi pertapa karena kemenangan yang mereka raih mengorbankan Bhisma, Drona, Karna, Abimanyu, dan Gatutkaca. Namun akhirnya dia tetap menjadi raja dan membagi tugas kerajaan kepada adik-adiknya dengan adil sesuai kemampuan masing-masing. Pemerintahan itu berjalan dengan damai. Destarastra, Ghandari dan Kunthi bersemadi ke hutan dan meninggal saat hutan tersebut terbakar. Pengikut Krishna, Vrishnis, saling membinasakan dalam suatu perang saudara. Krishna sendiri, yang punya andil besar dalam pertempuran antar dua keluarga dari wangsa Kuru ini, tewas ketika sedang beristirahat dan pemburu yang lewat memanah telapak kakinya karena mengira itu seekor burung. Kesedihan akibat kematian Krishna menyebabkan kelima Pandawa dan Drupadi memutuskan untuk meninggalkan dunia ini. Dengan demikian tidak ada satu tokoh pun yang tersisa, kecuali putra Abimanyu yang dilindungi Krishna bahkan ketika masih berada di dalam rahim ibunya. Ia tumbuh dewasa untuk menjadi Raja Hastinapura dan melanjutkan garis keturunan Pandawa. Agak sedikit penasaran sih karena entah mengapa nama putra Abimanyu dan cucu Arjuna ini tidak disebutkan dalam buku ini.
The original version of The Mahabharata is a massive and ancient work, rendered inaccessible to all but dedicated readers due to its size and complexity. Narayan, in this short summarized version, provides an opportunity for anyone with as much as a passing interest to learn and understand the major points of this classic religious text of the Bhakti Hindu religious tradition. Narayan’s prose is incredibly well organized, and indeed reads like a modern text…quite a feet summarizing a 3,500 year old text made up of around 100,000 verses.I will apologize for my summary, which provides a summary of Narayan’s summarized text, as understood by a reader outside the tradition from which it derived. The story revolves around two related, ruling families – the Kauravas and the Pandavas. This massive family feud fans out across the landscape, enveloping the nation. It is replete with trickery and dishonesty, hardship and heroism. Narayan opens this work with a quote by Vyasa which provides a good introduction in and of itself: “The lamp of history illumines the ‘whole mansion of the womb of Nature.’ (19)There are glimpses into the past and present culture, such as the brief passage: “Entrusting her twins to the care of Kunthi, Madri ascended the funeral pyre along with her husband and ended her life.” (30) This work is not simply a religious text, but a social and cultural archive of norms that serve as examples for human behavior.Additionally, this work is a wealth of wisdom. Similar to the wisdom of other traditions, frugality is praised: “One who has scanty means but is free from debt; he is truly a happy man.” (107) Many passages are profound. My favorite quote comes from the lamentation of Yudhistira: “I will not utter a harsh word to anyone, whatever may happen, whether it be a king, brother, or commoner; I shall not utter any word that may create differences among persons. Harsh words and arguments are the root of every conflict in the world. I shall avoid them; perhaps in this way I can blunt the edge of fate.” (68)As an introduction – fantastic!
What do You think about The Mahabharata: A Shortened Modern Prose Version Of The Indian Epic (2000)?
What I read here is just the "shortened modern prose version of the Indian epic". The Original is some 3'500 years old and is the longest poem in existence, eight times longer than The Iliad and The Odyssey put together. Actually, the Bhagavad-Gita, which I had a hard time following and understanding, is part of this epic and was summarized here in about one page... For my review of this book, I can best quote a paragraph from the introduction "Although this epic is a treasure house of varied interests, my own preference is the story. It is a great tale with well-defined characters who talk and act with robustness and zest - heroes and villains, saints and kings, women of beauty, all displaying great human qualities, super-human endurance, depths of sinister qualities as well as power, satanic hates and intrigues - all presented against an impressive background of ancient royal capitals, forests, and mountains.".A great read to indulge yourself into Indian culture.
—Esther
R.K. Narayan’s abridged, prose version of India’s national epic, The Mahabharata, is concise, fast paced, well written, and – unfortunately – passionless. Narayan has excised nearly everything not directly related to the Pandavas (Yudhistira, Bhima, Arjuna, and Nakula and Sahadeva) and their wife, Draupadi. In the process, he’s also stripped the story of any emotional power. For the most part, it’s like reading a book summary rather than a proper story. For example, there’s the chapter that has come down to us as The Bhagavad Gita, one of the more profound scriptures by anyone’s reckoning. In Narayan’s telling, it’s reduced to:When Arjuna fell into a silence after exhausting his feelings, Krishna quietly said, “You are stricken with grief at the thought of those who deserve no consideration.”Krishna then began to preach in gentle tones, a profound philosophy of detached conduct. He analyzed the categories and subtle qualities of the mind that give rise to different kinds of action and responses. He defined the true nature of personality, its scope and stature in relation to society, the world, and God, and of existence and death. He expounded yoga of different types, and how one should realize the deathlessness of the soul encased in the perishable physical body. Again and again Krishna emphasized the importance of performing one’s duty with detachment in a spirit of dedication. Arjuna listened reverently, now and then interrupting to clear a doubt or to seek an elucidation. Krishna answered all his questions with the utmost grace, and finally granted him a grand vision of his real stature. Krishna, whom he had taken to be his companion, suddenly stood transformed – he was God himself, multidimensional and all-pervading.Time, creatures, friends and foes alike were absorbed in the great being whose stature spanned the space between sky and earth, and extended from horizon to horizon. Birth, death, slaughter, protection, and every activity seemed to be a part of this being, nothing existed beyond it. Creation, destruction, actity and inactivity all formed a part and parcel of this grand being, whose vision filled Arjuna with terror and ecstasy. He cried out, “Now I understand!”The God declared, “I am death, I am destruction. These men who stand before you are already slain through their own karma, you will be only an instrument of their destruction.”“O Great God,” said Arjuna, “my weakness has passed. I have no more doubts in my mind.” And he lifted his bow, ready to face the battle. Krishna then resumed his mortal appearance. (pp. 147-8)If all you’re looking for is a readable English synopsis of the epic, then I would recommend this book. But if you’re looking for an English version that captures the gravitas of the original, you won’t find it here.
—Terence
many years ago, a friend of mine was trying to find a complete translation of mahabarata --the original proses by bagawan vyasa and later additionals-- with no luck!He persistently asked me to help out by (at the least) narrate him the storyline briefly from an indonesian adaptation (baratayuda) which was a great pain for me...afraid that his curiosity would kill him...j/k duh, i lent him this copy, and it appeased his curiosity. So for us this book was a win-win situation...i have read several indonesian adaptations/versions of Mahabarata and this shortened version by Narayan is the only English version i read and it is very good. i cant compare it with the real one since i havent read it (nor do i have the intention of reading the entire never-ending prose)...and the indian tv series i watched a long time ago is too vague for a medium of comparison...so based on my friend's situation, this book is really really helpful!
—Vanda