Baru kemarin malam saya selesai membaca buku ini. awalnya saya kira suasana isi buku ini akan berbeda dengan kedua buku Ayu Utami yang sudah saya baca yaitu Larung dan Saman. Ternyata tidak. perasaan yg tertangkap oleh saya masih sama. Masih terasa emosi2 Ayu Utami yg secara terang2an menentang cara pemerintahan orde baru. Awal membaca novel ini saya kira isinya adalah supaya pembaca terpengaruh oleh cara pikir Parang Jati yang mencintai alam, ternyata pas lewat tengah novel ternyata isinya lebih ke politik, cara2 orang2 berkuasa bermain peran2nya.Satu hal yg membuat saya sukar meneruskan membaca novel Ayu Utami adalah pemikiran2 yang tertulis secara terang2an di novel. Ayu Utami banyak membanding2kan pemikiran2 yang ada. Termasuk juga istilah2. Jadi baca novel Ayu Utami seperti baca buku filsafat barat. Seolah2 novel diracik dengan cara: Ayu Utami ingin menerangkan pemikiran2 yang ada, namun Ayu Utami menerangkan lewat novel dengan menciptakan tokoh A dengan pemikiran A kemudian tokoh A bertemu tokoh2 lain dengan pemikiran2 lain. Itulah membuat saya sukar utk terus membaca novel Ayu Utami. Sebelumnya, dari beberapa buku fiksi yang pernah saya baca, saya menempatkan Saman dan Larung sebagai yang terbaik. Selalu menjadikan kedua buku tersebut sebagai parameter pembanding ketika membaca buku-buku fiksi yang lain. Seperti hal-nya menjadikan Godfather I dan II sebagai acuan komparasi ketika menilai film-film lain yang mempunyai genre cerita yang sama. Hingga beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan hadiah, sebuah buku tebal dengan judul “Bilangan Fu”. Pengarangnya, sama dengan yang melahirkan Larung dan Saman. Pacar saya yang lebih kutu buku dari saya, memberikan gambaran, bahwa Bilangan Fu adalah buku berat dengan pokok kritik terhadal tiga hal yang dianggap sebagai musuh utama dunia post-modern. Yaitu, militerisme, modernisme, dan monoteisme. Sebuah gambaran yang memberikan bayangan, petualangan seperti apa yang akan saya alami ketika membaca buku ini. Dengan tebal halaman yang mencapai 500 lebih, akhirnya buku ini saya katamkan dalam 16 hari. 16 hari yang menuntaskan ekspektasi yang timbul sejak mulai membuka halaman pertama. Ekspektasi tentang petualangan seru ketika membaca, ngotot menolak mata yang capek, sensasi menjadi bagian langsung dari cerita, dan yang paling penting, terinspirasi. Bilangan Fu akhirnya menggeser Saman dan Larung dari favorit saya yang terdaftar sebagai urutan, menunjukkannya sebagai fiksi terbaik yang pernah saya baca. Ayu Utami adalah perempuan yang menulis, seorang jurnalis jebolan komunitas Utan Kayu yang tumbuh besar di era kekerasan Suharto. Dan itu sedikit banyak memberikan pengaruh dalam menentukan situasi dan latar belakang bagi kebanyakan cerita yang di tulisnya. Bilangan Fu, mengambil era paska kejatuhan Suharto sebagai latar belakang waktu cerita ini. Cerita jalinan rumit dan berliku dari tiga tokoh kunci, Yuda, Parang Jati, dan Marja. Yuda adalah pemuda skeptis yang jenuh dengan kehidupan kota, memilih panjat tebing sebagai pelarian. Parang Jati, sahabat Yuda. Seorang pemuda melankolis gelisah dengan 12 jari tangan, yang sanggup mengorbankan apapun bagi sesuatu yang dicintainya, alam. Dan Marja, kekasih Yuda. Gadis penuh kehangatan dan ketulusan yang akhirnya mewarnai hari-hari kedua pemuda tersebut. Sebuah cerita penuh referensi filosofis yang menggunakan gaya bahasa provokatif dengan tujuan utama memberikan kritik esensial pada Modernisme, Militerisme dan Monoteisme. 3M yang dianggap berperan besar dan menjadi kesatuan sebagai penghancur dalam kehidupan post-modern. Cerita ini memperingatkan kita, berbahayanya ke-tiga hal tersebut ketika mengalami masa penerapan dalam waktu yang bersamaan, dan akhirnya menjadi kesatuan dan merusak. Sesuatu yang pernah, dan bagi yang sependapat, masih saja berlangsung di negeri ini. Buku ini dimulai dengan ketertarikan besar Yuda untuk memecahkan misteri bilangan Fu, sebuah bilangan misterius yang hadir dalam mimpinya. Sebuah bilangan penuh makna yang mengandung unsur 0 dan juga 1, disimbolkan dengan sebuah garis yang membentuk seperti pusaran air. Mimpi ini mulai mengakrabi Yuda ketika berusaha menaklukkan Watu Gunung, sebuah tebing andesit unik yang berdiri tegak dan terhampar kontras dibarisan pegunungan kapur Sewu Gunung. Pegunungan kapur daerah pinggir laut selatan pulau jawa. Kegiatan yang akhirnya membawa dia berkenalan dengan Parang Jati, pemuda lokal yang edukatif dan mempunyai jari tangan berjumlah 12. Seseorang yang belakangan menginspirasi Yuda ke berbagai perenungan dan koreksi terhadap hal-hal yang selama ini dipercayainya sebagai “kebenaran”. Term kebenaran, di buku ini, dikritisi Parang Jati sebagai hal yang seharusnya tidak dimutlakkan karena hanya akan berakhir sebagai alat pembenaran untuk melakukan hal-hal yang menurut Parang Jati sendiri tidak benar. Perkenalan Yuda dan Parang Jati akhirnya berlanjut ke persahabatan yang kental, mengantarkan Yuda ke hari-hari berikutnya dimana dia menemani Parang Jati mewujudkan semua laku kritiknya. Hari-hari penuh petualangan yang akhirnya melibatkan Marja, kekasih Yuda. Gadis yang bukan konvensional, tapi tetap tidak lupa bagaimana bersikap sebagai perempuan, tabah dan selalu mengasihi. Gadis yang akhirnya terjebak cinta segitiga yang rumit, tapi penuh keikhlasan diantara ketiganya. Cinta segitiga dalam durasi yang tidak terlalu panjang, ketika apa yang di kritik oleh Parang Jati menjadi beringas dan mengambil nyawa dari Parang Jati sendiri. Cerita dalam buku ini, ketika dihayati, mengundang keharuan sekaligus kemarahan. Melibatkan ikon-ikon kepercayaan tradisional jawa seperti Nyai Roro Kidul berdasarkan referensi dari buku legendaris Babad Tanah Jawi, adalah hal yang luar biasa disini. Membenturkannya dengan arogansi pola pikir modern yang sekarang ini menjadi acuan dengan dasar rasionalitasnya. Tokoh-tokoh dengan karakterisasi yang juga sangat berpengaruh seperti Kupu, Penghulu Semar, Suhubudi, lurah Pontiman dan Mbok Manyar. Semuanya mengalir wajar dalam lika-liku cerita yang sebenarnya dalam ukuran orang sekarang, tidak wajar. Peranan masing-masing karakter mengalir menuju tercapainya penyampaian pokok kritik cerita. Dan Ayu Utami berhasil melakukannya tanpa harus terkesan menggurui atau berdakwah. Penggunaan kliping koran yang bukan fiksi tentang isu hantu cekik, pembunuhan dukun santet oleh sekelompok ninja, atau berita tentang maraknya keracunan biskuit, Ayu Utami seakan menawarkan opsi pemikiran yang lain tentang kejadian-kejadian tersebut. Menawarkan untuk menela’ah kejadian-kejadian tersebut tidak sesederhana seperti yang tersampaikan dalam berita koran. Begitu juga hal-hal menarik lainnya yang dipakai Ayu Utami sebagai referensi, mungkin akan menjadi kumpulan pengetahuan baru bagi kita yang menyadarinya. Riwayat tentang silsilah raja-raja jawa yang berkaitan langsung dengan Nyai Roro Kidul, sejarah awal penemuan urutan angka dari 0 ke 1, rekonstruksi dalam kitab suci tentang sejak kapan Tuhan mulai menyatakan diri sebagai hal yang esa, maha satu. Tempelan-tempelan pengetahuan berharga yang mengalir bagus tanpa perlu menggunakan bahasa rumit yang membingungkan. Pengetahuan – pengetahuan yang membangkitkan perenungan dan kegelisahan dalam diri Parang Jati, menuju kesadaran untuk menjalankan laku kritik yang dipercayainya sepenuh hati. Sangat terinspirasi ketika ada ungkapan yang menyatakan, bahwa “mempercayai” itu akhirnya lebih penting daripada melulu sibuk memperdebatkan kebenaran itu sendiri. Walaupun dipaparkan dalam beberapa bab yang terpisah, tapi Ayu Utami berhasil menyampaikan pokok kritiknya secara konstruktif, lagi sangat filosofis. Memakai gaya cerita flashback dengan Yuda sebagai naratornya. Disebuah bagian, Yuda juga menceritakan, bahwa akhirnya bertemu dengan seorang penulis bernama Ayu Utami. Seorang penulis dimana Yuda menarasikannya kembali, dan Ayu Utami yang akhirnya menuliskan cerita tersebut. Menjadikan buku ini setengah fiksi. Bagaimanapun, terlepas apakah cerita ini fiksi atau tidak, tapi menemukan berbagai penyadaran melalui dialog-dialog filsafat antara Yuda dan Parang Jati, adalah berharga menurut saya. Menyadari bahwa isme atau ideologi, ketika dijadikan alat untuk ketidak benaran, menjadi hal yang sangat berbahaya sekali. Modernisme adalah sesuatu yang harus dilawan ketika mulai memusuhi alam. Monoteisme adalah sesuatu yang salah ketika dijadikan alat untuk menghasut orang, membunuh orang lainnya yang tidak seiman. Militerisme adalah sesuatu yang berbahaya ketika melupakan kemanusiaannya. Tugas manusia itu sebenarnya memanggul kebenaran, bukan menjadikannya sebagai hal yang mutlak. Bukan pula menjadikan sesuatu yang dianggap benar sebagai acuan ideal yang baku. Sesuatu yang dianggap benar, seharusnya terus dikritisi supaya tidak menjadi sesuatu yang baku. Karena kebenaran ketika menjadi mutlak,sekali lagi, akan menjadi alat dari ketidak-benaran. Pokok-pokok kritik yang sebenarnya usang, tapi tidak boleh dilupakan. Dan Ayu Utami, dengan Bilangan Fu-nya, mungkin mencoba mengingatkan.
What do You think about Bilangan Fu (2008)?
Kemasan bahasa sederhana Mbak Ayu Utami dalam buku ini membuat makna dan kesan tersendiri bagi saya.
—Lexxii
Keren.ada sindiran, ada cerita mistis, penggambarannya bagus, karakternya realistis.
—Clairebear123
"Novel yang membuatku berpikir di dalam berpikir."
—Nick