Ini adalah buku pertama mengenai catatan perjalanan yang saya baca dan saya hanyut ke dalamnya, menjelajah negeri yang terkenal dengan perang dan Taliban.Buku ini tak hanya menyajikan cerita perjalanan si penulis namun juga adat-istiadat, keadaan geografis dan juga sejarah. Membuat saya memahami sisi lain dari Afghanistan.Selama membaca buku ini perasaan serasa diaduk-aduk dengan keadaan yang diceritakan, ngeri berbalut kasihan. Namun timbul juga dalam benak bahwa Afghanistan sebenarnya adalah negeri yang indah seandainya tidak ada perang beberapa dekade itu.Ingin rasanya jalan-jalan ke lembah Bahmiyan melihat patung Budha tertinggi di dunia seandainya itu masih ada dan tidak takut akan ranjau yang sewaktu-waktu meledak apabila kita salah langkah. Menyusuri Kabul dan kota-kota lain tanpa rasa takut menjadi korban penculikan terhadap orang asing, tanpa pemandangan orang-orang cacat korban perang dengan kaki-kaki palsu mereka atau bom bunuh diri yang banyak terjadi. Dan juga mengunjungi sisa-sisa perabadan kuno yang terletak di sudut-sudut terpencil Afghanistan. "Agama itu bukan baju. Agama itu ada di dalam hati. Inti agama adalah kemanusiaan." --hal. 227--"Betapapun beratnya, mereka selalu tahu cara menikmatinya." --hal. 291--"Terkadang, memang banyak hal yang lebih baik tidak kita ketahui sama sekali.""Tak jarang, jiwa nasionalisme justru terbentuk ketika seseorang berada di luar negeri, ketika mengalami perasaan senasib sepenanggungan dengan rekan-rekan dari ragam yang sama dan memahami realitas hidup kampung halaman dari "luar kotak"." --hal. 330--"hidup itu selalu ada naik-turunnya, seperti pegunungan ini. kita terkadang terengah-engah mendaki, terkadang meluncur turun dengan lepas. Ada waktu susah, ada waktu berjuang, ada waktu untuk berbahagia." --hal. 378--
What do You think about Selimut Debu (2010)?
What an energetic author! I earned huge knowledge after reading this masterpiece!
—ericalaine
bagus banget. kaya informasi. cara bertuturnya bagus, diksinya juga.
—Chuck