Inilah buku kedua Tracy yang saya baca setelah The Lady and The Unicorn. Sepertinya Tracy menggunakan wanita sebagai tokoh sentral dalam karya-karyanya. Membaca buku ini, kita dibawa kembali ke alam-alam pedesaan dan pertanian Prancis pada awal abad 16. Sepertinya tidak seru bila tidak didahului dengan konteks historis.Latar BelakangSebuah gerakan yang awalnya mengkritisi kebijakan gereja (katolik Roma). Seorang bernama Martin Luther memulai gerakan itu di Jerman pada tahun 1517. Pokok-pokok yang dipertanyakannya adalah mengenai remisi atas dosa yang dapat diperjualbelikan serta tidak diperbolehkannya menerjemahkan Alkitab dari bahasa latin ke bahasa lainnya. Hal itu dinilai tidak fair, manakala tidak semua orang (terutama orang awam) mengerti bahasa latin. Gerakan ini dinamakan dengan nama Reformasi. Karena gerakan memprotes kebijakan gereja (katolik) itulah maka aelanjutnya Luther dan pengikutnya dinamakan Protestant.Raja Henry VIII dari Inggris pertama kali tidak setuju dengan gerakan Luther. Ia khawatir dengan bahwa bila orang akan 'menyerang' gereja maka suatu saat akan menyerang monarki. Namun ia berubah pikiran ketika Pope Clement VII-Pemimpin tertinggi gereja Katolik di Roma- menolak membatalkan pernikahannya dengan Catherine of Aragon. Sebelumnya Catherine telah menikah dengan saudara Henry VII yaitu Raja Arthur. Namun pernikahan Catherine dan Raja Arthur hanya lima bulan, sebab Raja Arthur meninggal dunia dan kemudian Catherine menikah dengan saudaranya, Henry VIII. Pada dasarnya Henry VIII ingin mempertahankan dinasti Tudor, dengan mencari keturunan laki-laki. Pernikahannya dengan Catherine mendapatkan seorang putri. Akhirnya, Henry VIII memutuskan memisahkan gereja Inggris dengan Gereja Katolik Roma, dan pada tahun 1534 ia mengangkat dirinya sendiri sebagai pemimpin tertinggi gereja sekaligus pemimpin tertinggi negara. Henry VIII akhirnya membolehkan Alkitab bahasa Ibrani untuk diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan digunakan di seluruh gereja di Inggris. Nicolas Tournier yang disebut-sebut dalam Novel ini, tidak ada hubungannya dengan Ella Tournier. Ia disebut Tracy sehubungan dengan lukisan "Entobment"Lukisan ini dibuat pada awal abad 17, yang dikenal sebagai zaman Baroque. Zaman Baroque dikenal juga dengan abad Renaissance atau abad pencerahan. Lukisan pada zaman baroque memiliki karakter drama besar (seperti kisah di Alkitab), menggunakan warna yang kaya dan dalam, dan memiliki bayangan gelap maupun cahaya yang kuat.Yang menjadi sorotan utama Tracy pada lukisan ini adalah kain warna biru yang dikenakan Perawan Maria. Warna itu yang selalu dilihatnya dalam mimpi buruk Ella Tournier. Perjumpaan Empat AbadTracy menggunakan tokoh Ella Tournier dan Isabelle du Muolin yang dihubungkan oleh sebuah peristiwa tragis. Dari abad 16, diceritakan mengenai keluarga-keluarga yang tinggal di daerah pertanian Prancis Selatan yang dinamakan Huguenots. Istilah itu diberikan oleh pengikut Calvin, yaitu orang-orang yang mengikuti gerakan reformasinya Martin Luther di wilayah Prancis. Itu terjadi kira-kira tahun 1560 hingga 1629. Raja Charles IX dari Prancis ibunya, Catherine de Médicis, mengkhawatirkan pertumbuhan dari Huguenots yang dipimpin oleh Gaspard de Coligny (16 February 1519 – 24 August 1572). Kekhawatiran itu semakin bertambah ketika putri Catherine, Margaret of Valois menikah dengan Henry IV pada 18 August 1572. Henry III adalah dari Protestant, dan pernikahan itu pasti akan membuat pengaruh Huguenot di Prancis semakin kuat. Charles diperintah ibunya untuk membunuh para pemimpin Huguenot. Pembunuhan massal Huguenot tersebut dikenal dengan Massacre of Saint Bartholomew’s Day. Dinamakan dengan istilah Saint Bartholomeuw Days, karena gereja Katolik untuk memberi penghormatan khusus pada orang-orang suci seperti Saint Bartholomeuw yang jatuh setiap tanggal 24 Agustus. Gaspard de Coligny adalah pemimpin Huguenot yang pertama kali dibunuh pada tanggal 24 Agustus 1572. Akhirnya bukan hanya pemimpin Huguenot, namun Huguenot itu sendiri dikejar dan dibunuh. Bukan hanya di ibukota negara, namun pembunuhan tersebut menyebar ke seluruh Prancis dan hal itulah memicu kembali Perang antara Katolik Prancis dan Protestant (Huguenot) yang sebelumnya sudah menyepakati perdamaian yang tertuang dalam Peace of Saint-Germain-en-Laye. Perjanjian perdamaian itu sendiri ditandatangani oleh Charles IX dan Gaspard de Coligny pada tahun 1570. Lukisan François Dubois (1529–1584) " Le massacre de la Saint-Barthélemy" Dubois adalah saksi mata peristiwa iniSetelah lebih 30 tahun pertikaian antara Huguenot dan Katolik, akhirnya pada tahun 1598 dikeluarkan Dekrit Nantes yang dikeluarkan oleh Raja Henry IV (13 December 1553 – 14 May 1610). Isi dekrit itu antara lain mengakui persamaan hak dan kemerdekaan antara Huguenot dan Katolik dalam hak-hak warganegara. Dekrit itu juga memisahkan antara Agama dan politik kenegaraan dan membolehkan unsur-unsur sekuler masuk dalam kehidupan bernegara. Ketika terjadi pembunuhan massal Huguenot, Henry IV dilindungi oleh istrinya, Margaret. Henry IV sendiri, pada tahun 1598 'berpindah' dari Protestan ke Katolik, karena Raja yang diakui di Prancis adalah Katolik.Dan dari pihak gereja katolik, menganulir pernikahan Henry IV dan Margaret yang dilakukan pada tahun 1572 yang lalu. Namun, kelak dekrit ini ditolak oleh cucu Henry IV, yaitu Louis XIV. Pada tahun 1685, Louis XIV mengeluarkan Dekrit Fontainebleau yang menyatakan bahwa Protestantism adalah illegal . Hal itu membuat 400,000 Huguenot meninggalkan Prancis, pindah Inggris, Prussia, Belanda, Switzerland, dan Afrika Selatan. Ella Tournier mewakili dari abad 20, sedangkan Isabelle du Muolin mewakili dari abad 17. Kedua wanita ini diceritakan oleh Tracy yaitu memiliki profesi yang sama: bidan, memiliki rambut merah, seorang istri, dan menjalin hubungan dengan seorang pria idaman selain suami mereka. Selain itu, Tracy membuat kesamaan mereka dalam hal perpindahan tempat tinggal. Ella, tadinya bertempat tinggal di San Fransisco, ia melakukan profesinya dengan senang, namun karena ia mengikuti kepindahan Rick, suaminya yang berprofesi sebagai seorang arsitek ke Prancis, ia pun meninggalkan pekerjaannya dan belajar bahasa Prancis dengan Maddame Sentier. Ayah Ella menyarankannya agar menghubungi saudara dari keluarga mereka yang tinggal di Moutier, sebuah kota kecil di barat laut Swiss.Isabelle de Muolin terbiasa membantu persalinan ibu-ibu di desanya. Suatu kali ia membantu persalinan kakaknya Marie, namun sayang Marie dan anaknya tidak tertolong. Dan ketika Isabelle mengandung anak ketiga, ia berharap anaknya perempuan-setelah Petite Jean dan Jacob- dan ternyata, ia diberikan anak perempuan dan diberi nama seperti kakaknya, Marie. Sejak menikah dengan Ettiene Tournier, Isabelle ikut dengan keluarga suaminya. Ia merasakan 'penolakan' dari mertuanya, terutama ibu mertuanya, Hannah. Yang pertama karena Isabelle berasal dari keluarga yang miskin dan kedua, karena Isabelle memiliki rambut merah. Kain Biru dan Rambut MerahPada abad pertengahan, lukisan yang menggambarkan Perawan Maria, diambil dari warna biru yang dimiliki oleh batu perhiasan yang dinamakan Lapis Lazuli. Lapis Lazuli ini lebih bernilai dari emas dan ditambang di daerah yang kita kenal sekarang Afganistan. Lapis, berasal dari bahasa Latin yang berarti batu. Lazuli, berasal dari bahasa Latin lazulu turunan dari bahasa Arab, "lazaward", bahasa Persia, "lazhward" yang berarti biru atau sorga. Batu ini sudah lama menjadi hiasan kalung dan perhiasan sejak abad prasejarah. Pelukis seperti Fra Angelico menggunakan bubuk batu ini sebagai pewarna biru yang disebut "Ultramarine" pada jubah Maria pada lukisan di bawah ini. Judul: The Flight into Egypt (c.1450)Mengapa biru?1. menurut artikel di sini, orang mesir kuno menggunakan lapiz lazuli (yang berwarna biru) sebagai representasi sorga.2. menurut artikel di sini karena pada abad pertengahan, warna biru adalah warna asli Byzantium dan menggambarkan warna seorang permaisuri. Mary dianggap sebagai permaisuri sorga. 'St Mary Magdalene' oleh: Piero di CosimoMengapa merah?ada konotasi negatif dengan warna merah pada abad pertengahan. Warna merah dianggap warna yang berhubungan dengan iblis, kejahatan. Dari sumber ini diketahui:1. dalam mitos Jerman, Dewa Thor (nama lainnya: Ása-Thór, Donar, Donner, Thór, Thunder, Tor) memiliki rambut merah2. Wotan, ayah Thor, memiliki mata dan janggut berwarna merah.3. Wanita berambut merah dianggap bereputasi jelek karena diasosiasikan wanita penyihir.4. Pepatah Eropa kuno yang mendiskriminasikan orang yang berambut merah dan berjanggut merah: "Red hair, evil hair" and "Red beard - devil’s way".Entah prasangka darimana bahwa yang berambut dan berjenggot merah diliputi kuasa jahat. Ada sedikit penjelasan-walaupun tidak berdasar- bahwa di abad pertengahan visualisasi Yudas, salah satu murid Yesus yang mengkhianatinya, dalam lukisan, berambut merah. Selain itu, St Mary Magdalene digambarkan sebagai wanita pendosa datang kepada Yesus, juga berambut merah. Dari sebuah artikel, beginilah gambaran pada orang yang berambut merah pada abad pertengahan: "false, dangerous, tricky, shameless, over-sexed, deceitful, hot-tempered, unfaithful, foolish, war-like, crude, vulgar, low-class and unlucky for those who meet them"Mitos dan PengetahuanDari cerita yang dituliskan oleh Tracy, kita dapat membandingkan bagaimana kehidupan pada awal abad renaissance serta kehidupan di abad saat ini. Pada cerita Isabelle, semuanya serba terikat dengan tradisi dan mitos. Ia adalah 'korban' tradisi tersebut. Ia seperti tidak punya posisi tawar dengan apa yang dilakukan orang-orang yang mengolok-oloknya dengan kata La Rousse. Di keluarganya pun, Isabelle seperti tidak diperhitungkan. Ibunya meninggal karena infeksi gigitan serigala, dan ia satu-satunya perempuan di rumah, namun ayahnya lebih mempercayai saudara laki-lakinya mengurus pertanian. Isabelle juga difitnah karena seorang anak yang terkena kaca patri. Padahal kaca itu sendiri pecah karena terkena lemparan orang. Isabelle juga menerima perlakuan tidak senonoh dari Etiene Tournier yang kelak menjadi suaminya. Dan yang lebih miris, Isabelle tidak mendapatkan pembelaan dari Etiene, sebab sesungguhnya Etiene tidak mencintai Isabelle. Demikian juga ayah Isabelle, ia tidak menyetujui Etiene menjadi menantunya. Ayahnya tidak suka dengan keluarga Tournier. Perlakuan yang manis hanya diperoleh Isabelle dari Susanne, iparnya. Mungkin hanya Susanne yang waras tidak mempercayai mitos rambut merah Isabelle. alun-alun Lisle-sur-TarnPada cerita Ella Tournier, ia adalah seorang wanita yang berpendidikan dan mandiri. Ia tidak tinggal diam di rumah manakala suaminya bekerja. Ella menggambarkan suasana alun-alun Lisle-sur-Tarn seperti kota impiannya. Empat penjuru alun-alun yang dikelilingi ruko di sepanjang jalan serta sebuah air mancur di tengah-tengah alun-alun tersebut. Ia juga mengikuti kelas Bahasa Prancis bersama Madame Sentier. Ia juga berkenalan dengan seorang pustakawan yang bernama Jean-Paul yang ternyata belajar ilmu kepustakaan di Columbia University. Perkenalan dengan pustakawan tersebut membawa keuntungan bagi Ella, sebab Jean-Paul banyak mengetahui sejarah dan memiliki jejaring perpustakaan di daerah Prancis. Ella juga diberi kebebasan oleh Rick untuk melakukan perjalanan sendiri mencari kerabatnya di Moutier.Di Moutier, bertemu kisah Isabelle dan Ella. Ella merasakan perbedaan penataan kota antara di Lisle-sur-Tarn dengan di Moutier. di Lisle-sur-Tarn lebih tertata rapi dibanding Moutier, namun orang Swiss (Moutier) lebih ramah dari pada orang Prancis (Lisle-sur-Tarn). Bertemunya Ella dengan saudaranya, Jacob Tournier membawa pada silsilah keluarga Tournier. Ella dibawa ke rumah pertanian milik leluhur. Dan disitulah mimpi-mimpi buruknya terjawab.Terlepas dari kisah nyata dan fiksi yang diramu oleh Tracy dalam buku ini. Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya ketika membaca dan menelaah kisah The Virgin Blue ini. Pertama, munculnya perubahan mendasar dalam kehidupan beragama dan politik memiliki dampak yang sangat luas. Mungkin sejarah akan bercerita dari sisi puncaknya saja, namun di tingkat rakyat bawah, perubahan tersebut sering kali tidak berpihak pada yang lemah. Kedua, pendidikan dan pengetahuan adalah peluang untuk membasmi kekerdilan berpikir. Pada akhir abad pertengahan, perempuan tidak diberikan wadah untuk sebagai mitra pengambil keputusan (kecuali ratu). Padahal, ia juga seorang manusia yang juga memberi kontribusi yang tidak kalah banyak dengan laki-laki. Selain itu, pada masa itu perempuan sering menjadi 'korban' mitos yang menyudutkan mereka. Dan mampukah (agama) membela mereka? sampai sekarang masih ditemukan perempuan yang tidak dibela hak-haknya. Ketiga, masing-masing orang memiliki spiritualitas yang berbeda, kita tidak perlu mengganggu apalagi menghakimi. Dalam sejarah seringkali yang digunakan adalah pendekatan kekuasaan bila ditemukan adanya perbedaan keyakinan.Pesan dari Isabelle, sebuah kerinduan akan pada tempat masa lalu yang penuh dengan kelimpahan. Kita baru dapat mengerti sesuatu sangat berharga saat kita temukan bahwa kita sangat sulit memperolehnya kembali.Ketika kita memiliki segalanya, kita menganggapnya biasa-biasa saja. Seperti air. Kita tidak berpikir tentang air sampai merasa haus dan tidak ada air. (h.163)@hws19112011
I picked it up and a day and a half later, I set it down. At first, I wasn't sure what I was getting myself into, but 20 pages in and I was completely hooked. Since I haven't read anything else by Tracy Chevallier, I wasn't sure I would enjoy her writing. I was happy to discover she has a natural knack for character development, I found her to be a very honest author, unafraid to describe what "we" are really feeling inside. Exposing the vulnerability of human nature with her intertwining stories of love, hate, religion, persecution, adultery and redemption.The pace of the novel starts off a little slowly, there is a lot to get through to grasp all the characters and their roles. Halfway muddling through the French dialog was a little difficult at first, but well worth the effort. And as the story progressed, became more intense and began revealing the secrets shared by the two main characters, the chapters became shorter and shorter, the structure of the chapters began to change, which increased the pace set early on. My only wish is that there had been more follow through with a few revelations that Ella (our main character from the modern age) discovered about her ancestors. (specifically the painter Nicolas Tournier...Who was this cat after all? Tracy never says for sure) And I wish there had been more between Ella and Susanne her cousin from Switzerland; they shared the family secret but their relationship ended too quickly for me. And later with Ella and Elizabeth her cousin from France. They shared a kindred spirit, but Tracy left me desiring more of the relationships. Ella's feelings toward Elizabeth were contradictory with the way the story ended. At first she doesn't know if she wants to relate to her, but in the end she's spending quality time with Elizabeth but no reconsiliation has been made for her original emotions regarding Elizabeth and the Tournier family history. Also, there was no explanation as to who's teeth they discovered under the chimney at La Baume du Monsieur, Tracy discusses it briefly in regards to Hannah (the grandmother from the 1500's) and her belief that "the home is safe, the hearth will protect us...", it was a little confusing because it was never fully explained. And lastly, did they burry Marie near Deborah? She wanted to see her again. Did she finally rest near her? The only reason I can criticize these things is because I enjoyed the book so much, I wish there had been more to it. I was left wanting more...Is there any better compliment to an author?
What do You think about The Virgin Blue (2003)?
Surprisingly, this was somewhat a book about a mystery, but it did get me thinking quite a bit, particularly about memories and how they are stored in the brain. Because one of the two main characters "develops" memories from her distant relative (distant being 400ish years ago), I started to wonder about memories and if we will ever figure out a way to "harvest" and save memories to be viewed when "host" is no longer with us. It seems crazy, but maybe at one time, it seemed crazy to think we could hear a voice or see a picture of someone long after they were gone. The story itself was very good, and I enjoyed the language the author used, her use of imagery and the way she described Ella's and Isabelle's feelings. What I did not appreciate was the way the book ended. I understand the agenda of an author to leave the reader to make up some bit of their own when tying up loose ends, but I think this author left too much to the imagination. I wanted to know more about what happens to Ella and what happened to Isabelle. But, I loved the history behind this story, I loved the use of the French language (which was awesome since I was listening to it in my car on the way to my class in Gorham), and I really loved this author's style of writing.
—Alicia
Ella Tournier mengikuti suaminya pindah dari Amerika ke Perancis, dan menemukan rumah di sebuah kota kecil dekat Toulouse. sejak itu, Ella yang sebenarnya mempunyai leluhur berasal dari Perancis, bermimpi tentang warna biru yang benar-benar "biru" - suatu gabungan antara kesedihan dan ketenangan - dan juga suara-suara aneh dalam bahasa asing serta suara batu berdebam. karena merasa "asing" di kota tersebut (alias belum biasa diterima oleh orang-orang di sana), plus tidak punya kesibukan, akhirnya Ella mulai menelusuri jejak leluhurnya - Tournier. dia menemukan kebetulan-kebetulan yang aneh yang membawanya sampai ke Swiss, dimana leluhurnya dulu pindah ke sana karena terjadi perang agama (abad ke-16).di kota kecil ini Ella bertemua dengan seorang pustakawan yang juga seorang peneliti - Jean Paul - yang membantunya menyelidiki usaha Ella tentang leluhurnya.dari sini perkawinan Ella menjadi terancam.lalu apa hubungan Ella dengan mimpi tersebut dan juga dengan La Rousse - wanita berambut merah dan kaitannya dengan Sang Perawan? bersetting di kota-kota kecil Perancis dan Swiss, dari abad 16 sampai abad modern.------------------------------------------------------------After got moved to a small old city in France with her husband, Ella Tournier has same successive dreams of blue color – the very beautiful blue color, could not be described, but just felt such a combination of sorrow and tranquility. It was accompanied by strange voices in strange old language, with the sound of heavy stone falling with resonant thud.Since that, Ella got interested in tracking back her family trees, her ancestors. She met many coincident findings, where ultimately lead to her dark family history in 16th century, a period of religion wars in France and Europe. Her connection with an ancient woman named La Rousse – red haired woman – and The Virgin. The story in this novel occurred in several places in France and Swiss.
—Santh memories
I was incredibly disappointed in this book. I had read Girl With a Pearl Earring and been very impressed, so I picked up this one expecting something as good. Well, maybe not AS good, since The Virgin Blue was her first book and I was prepared to give her some wriggle room for growth and learning and so on.Let me say that I think the book's premise is very strong, and I really loved the 'flashbacks' to Isabella. In my opinion, these segments were strong and interesting and well-written.Where the book fell down was with Ella, the modern voice. I hated her character. I found her whiny and self-absorbed and I simply did not understand her motivations for the affair. The breakdown in the relationship with her husband simply did not get conveyed nearly enough, and I ended up feeling badly for Rick instead of seeing Ella's side. Truthfully, she had no side. Another thing that annoyed me was Ella's supposed fluency in French - achieved in just a month! I speak French, and there is no way that anyone would be able to argue about Vietnam and feminism and politics within a month of lessons. Come on. Really?Finally, the ending. What a let-down. I hated the way that the 'past' and the 'present' melded together. It was meant to be dramatic, but it made me roll my eyes. No suspense for me, no 'aha!' moment, nothing. Just a sense of relief that it was over at last. On the whole, I'd rate this as the poorest book that I have read by an otherwise quite remarkable author.
—Michelle Smith